“UNG ING”, tak pernah membayangkan. Akan duduk di kursi yang sangat “berbahaya”, untuk ukuran politik Thailand. Ayah dan bibinya, telah merasakan “belantara” “dangerously”. Bahkan pamannya (Somchai Wongsawat), pun terjungkal oleh ‘pernak pernik’ politik, di Negeri “Gajah Putih” ini.
Tangan saya gemetar,”, seperti dikutip dari “New York Times” (16 Agustus 2024). Itulah kata pertama yang terucap dari Perdana Menteri (PM) termuda Thailand Paetongtarn Shinawatra, yang memiliki panggilan lain “Ung Ing”.
Tiga hari lagi (21 Agustus), menjelang tepat usianya yang ke-38, ‘Ung Ing’ tentu akan menghadapi “jalan berliku”, bahkan bisa dikatakan terjal. Terlebih Ibu dua anak ini, tak memiliki sedikit pun pengalaman administrasi dan Pemerintahan.
Naiknya putri bungsu taipan telekomunikasi, dan mantan PM (2001-2006) Thaksin Shinawatra ini, tak lepas dari kompromi dengan pihak militer. Militer Thailand, dalam sejarahnya, banyak mewarnai hiruk-pikuk politik Thailand.
Thaksin sendiri digulingkan oleh kudeta militer pimpinan Jenderal Sonthi Boonyaratglin, dengan dalih untuk memulihkan pemerintahan yang demokratis. Sejatinya juga nasib yang sama akan membayangi putri ‘kesayangannya’, seandainya nanti ada perselisihan dengan kalangan sipil lainnya. Dalih ketertiban, adalah hal berulang, dan terduplikasi.
Saat Thaksin digulingkan, pihak militer yang membentuk Dewan Keamanan Nasional (CNS), menunjuk Perdana Menteri Jenderal (purn) Surayud Chulanot menggantikan Thaksin. Ayah “Ung Ing” (Paetongtarn Shinawatra), makin terpojok dan disempurnakan, dengan melarang partai yang didirikan Thaksin, Thai Rak Thai (TRT) untuk ikut Pemilu. Partai TRT terhenti.
Apa di balik ini semua? Tokh, Thaksin menjalankan Pemerintahan cukup baik. Tahukah! Penyingkiran pendiri ‘Shin Corporation’ (operator selular) oleh militer (2006) ini, tak lepas dari popularitasnya di masyarakat pedesaan. Belum pernah terjadi, pimpinan pemerintahan se”populis” semasa Thaksin. Thaksin sangat dicintai di pedesaan Thailand.
Negeri berpenduduk 72 juta jiwa tersebut, memang tak lepas dari sejarah perkudetaan. Kalau kata orang Jakarta, “sudah thuman”!
Kudeta yang digagas oleh mantan PM, Jenderal Prem Tinsulanonda (Presiden Dewan Kerajaan Thailand). Sesungguhnya tak lepas dari kekhawatiran menurunnya pengaruh Raja Bhumibol Adulyadey terhadap rakyatnya. Populisme yang dibangun Thaksin, dianggap akan mendegradasi kewibawaan Bhumibol, pada peta politik dalam negeri (domestik).
Garis monarki Chakri, tak ingin ada ‘matahari kembar’, terutama di kaum pedesaan Thailand. Tudingan para analis dan pengamat, bahwa kudeta terhadap Thaksin semata karena kepentingan militer, tentu menjadi keliru.
Betul, Monarki Chakri sangat dihormati oleh kalangan militer Thailand. Sebaliknya Monarki Chakri, hampir tak pernah “mengutak-atik” sejumlah kudeta di dalam perjalanan berbangsa Thailand. Militer selalu melaporkan setiap “ganjang-ganjang” dalam pemerintahan parlementer Thailand. Bahkan sejak masih bernama Muangthai sekalipun.
Mudahnya menyebut, ada semacam “simbiosa mutualisme” (saling menguntungkan) di antara militer dengan kerajaan (monarki Chakri). Untuk politik domestik, militer menjaga marwah dan wibawa raja (Bhumibol dan penerusnya) dari pembangkangan. Atau ketidakpatuhan rakyat Thailand.
Beratnya “dosa” Thaksin, sampai-sampai dia harus meninggalkan Thailand, meninggalkan “Ung Ing”, PM sekarang (Paengtotarn Shinawatra), selama 15 tahun. Menunggu sampai popularitasnya dilupakan rakyat. Dengan mengasingkan diri ke luar negeri.
Sampai kemudian naiklah sang ‘bibi’, Yingluck Shinawatra sebagai PM wanita pertama Thailand. Popularitas ‘wangsa’ Shinawatra tak luntur. Dari Ayah, jabatan PM beralih ke ‘bibi’ Yingluck. Rakyat pedesaan tetap memilih ‘klan’ Shinawatra. Hingga kemudian, militer kembali bertindak. Kudeta.
Dengan dalih PM Yingluck Shinawatra dikendalikan ‘sang kakak’, mantan PM Thaksin Shinawatra (Ayah PM Paetongtarn Shinawatra), Panglima AB Thailand Jenderal Prayuth Chan-Ocha mengambil alih Pemerintahan PM Yingluck Shinawatra. Jenderal Prayuth juga menyebutkan, demi ketertiban dan menerapkan reformasi politik.
Yingluck yang berasal dari Partai Pheu Thai (Partai Paetongtarn Shinawatra), dan bisa juga dipanggil “Pu”, menjabat PM Thailand sejak 2011 hingga 2014. Ini setelah sang adik Thaksin, memenangkan Pemilu 2011.
Jenderal Prayuth Chan-Ocha, kemudian menjabat Perdana Menteri (PM) hingga 2023. Sekitar sembilan tahun menjabat, hingga 22 Agustus 2023, Prayuth diganti oleh Sretta Thavisin.
Sretta Thavisin sendiri, naik ke tampuk Perdana Menteri dalam Pemilu 2023, ‘beralaskan’, Partai Pheu Thai (Partainya Yingluck). Meskipun hanya pemenang ke-2 (pemenang pertama Partai Maju), koalisi akhirnya memilih Sretta Thavisin.
Partai Maju (pemenang), menolak ajakan Ketua Pheu Thai, Paengtatorn Shinawatra, berkoalisi dengan Partai Palang Pracharat pimpinan Jenderal Prawit Wongsuwan, yang terafiliasi dengan kalangan militer. Pheu Thai, memang mengupayakan dukungan militer, belajar dari sejarah Thaksin & Yingluck.
Kini Paengtotarn Shinawatra telah resmi menjabat PM termuda, dan wanita kedua dalam sejarah kepemimpinan Thailand. Menggantikan Sretta Thavisin yang diberhentikan pengadilan. Isteri dari Pitaka Suksawat ini, tentu telah belajar banyak dari “kegagalan” dan “medan konflik” yang pernah mendera Ayah, Tante, dan Paman mertua (PM beberapa bulan saja).
Paengtotarn Shinawatra tentu ingin menapak karier dengan dukungan militer, juga pihak monarki Chakri. Sekalipun raja Thailand bukan lagi Bhumibol Adulyadey. Sudah berganti ke Raja Vajiralongkorn. Filosofi “jangan mengganggu” popularitas raja, harus dijaga. Kisah sang Ayah dan Tante tak boleh terulang.
*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co)