Sebagai Negara Demokrasi, Indonesia Menganut Sistem Presidential ataukah Parlementer?

by
Bendera Merah Putih, Garuda {ancasila. (Foto: Ilustrasi)
Agus Widjajanto SH., MH. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto”

SEJAK Indonesia berdiri secara De Jure dan De Facto pada tanggal 18 Agustus, ditandai telah berdirinya sebuah negara yang mempunyai pemerintahan, dimana pada tanggal 17 Agustus saat dikumandangkan Proklamasi oleh Soekarno-Mohammad Hatta, merupakan tonggak dimulainya kemerdekaan sebuah bangsa. Akan tetapi, berdirinya sebuah negara baru ditentukan sehari sesudahnya, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah disyahkannya Hukum Dasar tertulis, yakni UUD Negara Kesatuan RI 1945, dan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan, para pendiri bangsa atau Founding Father telah belajar dan mengamati adanya suatu sistem pemerintahan yang tepat, saat nanti Indonesia merdeka. Dan para pendiri bangsa lebih condong meniru konsep dari Sistem Presidential pada negara-negara Eropa dan Amerika, dimana Parlemen merupakan lembaga Legislatif yang berperan sebagai pengontrol atas kekuasaan Eksekutif (yakni Presiden), melalui partai politik oposisi yang tidak berkuasa, dan khusus Indonesia sistem tersebut memang didesain seorang presiden, disamping sebagai Kepala Pemerintahan juga sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata (Angkatan Perang), seperti halnya pada Presiden Amerika Serikat.

Ciri dari Indonesia menerapkan sistem yang berbasis Presidential, yang berkaitan dengan kekuasaan yang ada, yang mana menganut sistem Trias Politika, yakni kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk mewujudkan adanya keseimbangan yang ada guna mengontrol jangan sampai kekuasaan Presiden selaku Kepala Eksekutif tidak terbatas, di era Pemerintahan Orde Lama (Orla), yakni era Demokrasi Liberal ( 1950 hingga 1959), yang dikenal dengan era demokrasi Parlementer, dimana era Presiden Soekarno memerintahkan. Menggunakan kontitusi UUD Sementara Republik Indonesia 1950, dengan melakukan pemilihan umum pertama pada tahun 1951, hingga dalam sejarah ada Kabinet Wilopo dan 100 menteri dari partai-partai politik yang jumlahnya berpuluh-puluh partai politik saat itu, yang menimbulkan ketidakstabilan secara politik, yang kemudian atas desakan dan usulan dari Tentara AD saat itu agar presiden melakukan Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959, untuk kembali lagi kepada UUD 1945 yang berbasis sistem Presidential.

Belajar pada kesalahan sebelumnya, maka pada saat masa berkuasanya Orde Baru (Orba), setelah melihat situasi politik adanya pemilihan umum pada tahun 1971, maka partai politik dilebur tidak lagi berjumlah puluhan partai politik, akan tetapi menjadi dua partai politik yakni yang berbasis agama dan nasionalis, serta Golongan Karya saat itu. Hal ini untuk memperkuat kedudukan presiden yang bukan hanya berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan, akan tetapi juga sebagai Kepala Negara, dimana Parlemen dalam hal ini wakil-wakil partai politik yang duduk di DPR RI, sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang agar kekuasaan presiden tidak absolut tanpa batas. Yang lalu dikembalikan seperti semula saat UUD 1945 dibentuk awal berdirinya negara, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR RI, sebagai suatu Lembaga Tertinggi sebagai penjelmaan suara rakyat, yang tak hanya terdiri dari seluruh anggota DPR RI dari partai-partai politik, akan tetapi juga dari Utusan Daerah, yakni tokoh-tokoh dari daerah, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, dan ditambah Utusan Golongan yang terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat adat, Sultan, Raja-Raja yang masih memiliki otonomi, yang memang didesain sebuah pemerintahan Adat Desa, yang digagas oleh Mr. Soepomo (sesuai dan sejalan dengan Sila ke empat dari Pancasila), tetapi dalam lingkup negara dalam skala nasional dan dari jejak sejarah sistem itulah yang lebih ideal untuk Indonesia sebagai negara yang pluralisme, yang demokrasinya mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri, dengan menerapkan ruh ke-Indonesiaan. Kebebasan yang bertanggung jawab dengan sistem semi demokrasi terpimpin, bukan demokrasi liberal ala Eropa dan Amerika Serikat.

Namun, ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian bahwa para pendiri bangsa memang terilhami adanya sistem politik dari Eropa dan Amerika Serikat saat itu, dimana partai politik hanya dokelompokan menjadi dua golongan yakni golongan agamis dan nasionalis, dimana yang kalah dalam pemilihan presiden berdasarkan musyawarah mufakat dalam sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat, didaulat menjadi oposisi untuk menyeimbang dan pengontrol segala kebijakan yang dirasa tidak baik, dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Itu sebenarnya tujuan awal nya.

Hal ini bisa kita lihat pada UUD 1945 dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, sedang pada pasal 4 ayat 1 dari UUD 1945, dijelaskan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial dengan kekuasaan tertinggi ada ditangan presiden. Namun, dalam perkembangannya saat era Reformasi bergulir, setelah jatuhnya Pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998, dan setelah dilakukan Amandemen UUD 1945, yang salah satunya dipicu juga saat Presiden Abdulrahman Wahid, akan membubarkan DPR RI karena dianggap tidak sejalan. Dari titik inilah terjadi pergeseran sistem, dimana anggota DPR RI, yang merupakan wakil-wakil dari partai politik yang jumlahnya juga kembali menjadi puluhan partai politik, tidak hanya berperan sebagai pengontrol kekuasaan, akan tetapi sudah menjelma menjadi lembaga kekuasaan baru, yang dalam pasal-pasal UUD 1945 salah satunya adalah dalam Pasal 20 ayat 1 pada Amandemen pertama yang berbunyi “bahwa DPR RI memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan dalam ayat 2 menyatakan setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR RI dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Dengan demikian, format awal dari Kontitusi sebagai Hukum Dasar tertulis telah dirubah menjadi, penentu sebagai pihak yang harus punya kekuasaan disamping mempunyai fungsi Legislasi, dan fungsi anggaran juga sekaligus fungsi pengawasan, termasuk juga untuk menyetujui adanya penujukan pejabat tinggi negara non-departemen, seperti Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, Penujukan Hakim Agung, pemilihan komisioner KPK, dan Jaksa Agung RI, yang tentu mempunyai implikasi kekuasaan Eksekutif, dalam hal ini presiden sudah diambil alih, yang sebenarnya merupakan hak prerogratif seorang Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Karena pengangkatan pejabat-pejabat tersebut harus mendapat persetujuan DPR RI, maka kerap terjadi tarik menarik kepentingan, dimana Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seperti tersandera, termasuk dalam menentukan kabinet menyangkut menteri-menterinya yang tidak lagi bisa dengan bebas memilih anak-anak bangsa terbaik untuk mengisi jabatan-jabatan strategis seperti jaman Presiden Soeharto dulu dalam menunjuk menteri dan petinggi penegak hukum, yang mau tidak mau suka tidak suka serta ujung-ujung nya harus melakukan koalisi dengan menggandeng partai-partai politik yang sejalan atau terjadi koalisi beberapa partai politik, untuk memperkuat suara di Parlemen, agar presiden tidak terganjal dalam mengambil kebijakan. Dan ini merupakan kemunduran dalam politik di Indonesia khusus dalam berdemokrasi, merupakan ‘mata rantai’ yang tiada ujung termasuk adanya penegakan hukum di Indonesia, yang disebabkan oleh sistemnya yang memang tidak ada kekuasaan yang dominan bisa memilih dan menunjuk posisi jabatan-jabatan strategis, karena harus berkompromi dengan kekuatan kekuatan politik dalam partai politik itu sendiri dalam sistem Multi Partai seperti sekarang ini, yang penuh dengan transaksional yang muaranya dari hulu ke hilir juga akan berimbas segala sesuatu dihitung secara transaksional sesuai dengan hukum dagang, yang bisa kita nikmati dan lihat saat ini dalam Dunia peradilan di Indonesia.

Dengan kata lain, Indonesia bukan lagi menerapkan sistem Presidential murni tapi sudah semi Parlementer, karena begitu kuatnya peran DPR RI dalam pengambilan kebijakan yang harus mendapat persetujuannya. Padahal presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui MPR RI, walaupun begitu peran partai politik beserta para elitnya sebagai lembaga politik sangat dominan dalam menentukan kebijakan, yang sebenarnya merupakan pengejawantahan dari suara dan wakil rakyat dimana dalam teory politik disebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan ( Vox Populi Vox Dei ) , akan tetapi yang terjadi adalah rakyat hanya dimanfaatkan saat pemilu berlangsung , setelah itu kekuasaan penuh ada ditangan elit partai.

Hal ini diharapkan menjadi pemikiran dari para pengambil keputusan pada pemerintahan baru nanti yang dilantik bulan Oktober depan agar bisa mengambil terobosan yang berani agar demokrasi di negeri ini kembali kepada demokrasi Pancasila, yang bernafaskan falsafah luhur bangsa serta sebagai pandangan hidup bagi seluruh anak bangsa, tanpa membedakan ras, suku, agama dan strata sosial. Adil bagi semua, makmur bagi semua. Dan fenomena ini merupakan salah satu ekses dari beberapa masalah yang ada yang terjadi pada negara kita akibat sistem yang telah kita ambil pasca Orde Baru, apakah kita menganut demokrasi Pancasila kah, sesuai teory dalam sistem ketatanegaraan kita, ataukah sebenarnya sudah terjebak dalam sistem sistem Demokrasi Liberal? Silahkan para pembaca yang budiman untuk memikirkan sendiri atas jawaban tersebut sambil merenung dan mengingat kembali sejarah masa lalu dari bangsa ini, sejak Indonesia merdeka hingga sekarang dengan pasang surutnya situasi politik. Jangan sekali kali melupakan sejarah, karena kejadian masa lalu penentu hari ini, dan situasi hari ini merupakan penentu masa yang akan datang.

Satu lagi, tugas media memang sebagai pengontrol dan pencerah demokrasi bagian dari check and balance, sebagai kekuatan ke IV dalam Fours, as Politica dalam Demokrasi Modern, karena peran fungsi DPR RI sudah tidak lagi beroposisi selaku pengontrol tapi ikut memainkan peran kekuasaan. ***

* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Politik, Hukum, Sosial, Budaya dan Sejarah bangsanya.