Komite IV DPD RI Rapat Kerja dengan BPS Bahas KEM-PPKF di RAPBN 2025

by
Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melaksanakan rapat kerja dengan Badan Pusat Statistik (BPS). (Foto: DPD RI)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melaksanakan rapat kerja dengan Badan Pusat Statistik (BPS) membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) dalam Rancangan Angaran Pendapatan dan Belanja Nehara (RAPBN) tahun Anggaran 2025, serta RPJMN 2025-2029 dan RKP tahun 2025. Rapat kerja tersebut dilaksanakan di Ruangan Sriwijaya, Komplek Gedung DPD RI, Senayan, pada Selasa, 14 Mei 2024.

Wakil Ketua Komite IV DPD RI Novita Anakotta, SH., M.H., dalam sambutannya menyampaikan bahwa beberapa persoalan yang menjadi fokus Komite IV DPD RI adalah pertama, munculnya sejumlah risiko global dalam jangka menengah, di antaranya ialah deglobalisasi, biodiversity loss, kegagalan cybersecurity dan climate action, serta krisis utang dan lapangan pekerjaan.

Kedua, selain itu Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan yang bersifat multidimensi yang memerlukan kolaborasi lintas sektor untuk menanganinya.

Novita menyampaikan bahwa Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi potensial akibat rendahnya produktivitas. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta merta mampu mengatasi tantangan sosial. Selain itu capaian infrastruktur Indonesia masih rendah, termasuk terkait layanan dasar, kualitas jalan, pemanfaatan air baku dan persampahan di berbagai daerah.

Terdapat tantangan penyusunan dan penyelarasan antara dokumen Rancangan RPJMD dan Rancangan RKPD dengan dokumen Rancangan RPJMN dan Rancangan RKP. APBN 2025 dan berbagai dokumen perencanaan disusun pada masa transisi ke pemerintahan baru.

“Pemerintah harus memastikan target dan programnya tercapai sekaligus juga harus memperhatikan visi-misi pemerintahan baru terakomodir di dalam APBN 2025 serta berbagai dokumen perencanaan.  Sejumlah tantangan yang mengemuka terkait kapasitas fiskal daerah adalah tingginya ketergantungan daerah terhadap Transfer Ke Daerah (TKD), tingginya kebutuhan pendanaan infrastruktur, rendahnya local tax ratio, dan kapasitas fiskal daerah dominan rendah dan sedang,” kata Novita dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/5/2024).

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPD) Amalia Adininggar Widyasanti, PhD., menyampaikan peranan BPS untuk menwujudkan Indonesia Emas 2045.

“Kami akan menyampaikan perkembangan indikator makro ekonomi, data-data BPS menjadi basis bagi perumusan kebijakan ke depan,” ucap Amalia.

Indikator ekonomi sosial terlihat dalam pertumbuhan yang cukup baik, seperti pertumbuhan ekonomi yang diumumkan 6 Mei 2024 ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup solid. Pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tumbuh 5,11 persen (yoy), ini adalah capaian yang cukup baik bagi perekonomian Indonesia.

Kawasan Timur Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding Kawasan Barat Indonesia, secara spasial tiga kelompok provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Maluku dan Papua, Sulawesi, dan Kalimantan. Pertumbuhan ekonomi di ketiga wilayah tersebut utamanya didorong oleh kegiatan pertambangan, industri logam, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tidak merata antar wilayah. Provinsi-provinsi yang merupakan pusat ekonomi di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera tumbuh di bawah lima persen,” ucap Amalia.

Berdasarkan data statistik tingkat pengangguran dan kemiskinan terus menurun. Hal ini juga dapat dilihat bahwa disparitas antar wilayah masih tinggi, karena sebagian pusat-pusat pertumbuhan ekonomi memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang relatif tinggi.

“Tingkat Pengangguran Terbuka pada Februari 2024 secara nasional 4,82%, TPT tertinggi adalah Provinsi Banten sebesar 7,02 persen dan TPT terendah Provinsi Papua Pegunungan 1,18 persen, namun ada 13 provinsi lebih tinggi daripada nasional,” ujar Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).

Sementara itu Tingkat Kemiskinan pada Maret 2023 di Indonesia adalah 9,36 persen. Tingkat kemiskinan tertinggi di Papua sebesar 26,03 persen sementara tingkat kemiskinan terendah adalah Provinsi Bali sebesar 4,25 persen. Secara umum tingkat kemiskinan di 16 provinsi lebih tinggi dari pada nasional.  Pertumbuhan ekonomi secara umum sudah sangat baik dengan meningkatnya kesejahteraan amsyarakat, tapi masih ada beberapa provinsi yang perlu tumbuh lebih inklusif.

Senator asal NTB, Ir. H. Sukisman Azmi, dalam rapat kerja tersebut menyampaikan harapan agar BPS menjadi acuan di Indonesia terkait dengan data,

“Kita menyadari bahwa BPS penting oleh sebab itu kita berharap BPS menjadi kementerian sendiri,” ucap Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut.

Selain itu, Sukisman juga menyampaikan terkait dengan usia harapan hidup berdasarkan data yang ada pendidikan tidak berpengaruh ternyata usia angkatan hidup, kami melihat di Papua di tingkat pertumbuhan ekonominya bagus, tapi tingkat kemisninannya tinggi.

Muhammad Afnan Hadikusumo, Senator dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyoroti data-data yang berbeda antar kementerian hal ini menimbulkan masalah tersendiri.

“Bagaimana langkah BPS untuk membuat standar yang sama terkait data-data kependudukan ini, kita mendorong agar pendataan ini cukup dilakukan oleh BPS agar standarnya satu karena datanya hanya satu jadi penanganan oleh pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah menjadi akurat, tidak memunculkan perdebatan,” ucap Afnan.

Selain itu Senator dari Provinsi DI Yogyakarta tersebut juga mendorong agar regulasi terkait BPS diperbarui. “Undang-Undang tentang Statistik sudah terlalu tua, sehingga perlu direvisi, DPD RI mendorong agar Undang-Undang Statstik ini direvisi, arahnya agar undang-undang yang baru itu adalah sesuai dengan kebutuhan zaman,” ucap Afnan. (Kds)