Tetaplah Berhati-hati dan Bijaksana Mengelola Pertumbuhan Ekonomi

by
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. (Foto: BS)

KEMENTERIAN Keuangan bersama Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (6/5), merilis kabar gembira. Dua institusi negara itu melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia per triwulan I-2024 tetap tinggi, yakni mencapai 5,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Kecenderungan positif ini patut dikelola dengan penuh kebijaksanaan dan kehati-hatian, terutama karena dunia masih sarat ketidakpastian.

Lebih dari itu, kabar dan fakta ini menjadi modal yang lebih dari cukup bagi negara-bangsa melakukan transisi pemerintahan; dari administrasi pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo ke administrasi pemerintahan baru, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang Pilpres 2024. Tentu saja tim transisi Prabowo-Gibran diharapkan menjadikan kabar dan fakta dimaksud sebagai modal, sekaligus pijakan, untuk menjalankan manajemen pemerintahan baru.

Sudah pasti bahwa tantangannya adalah bagaimana merawat dan mempertahankan pertumbuhan yang tinggi itu. Berangkat dari tantangan itulah menjadi sangat penting bagi tim transisi Prabowo-Gibran untuk pro aktif membangun komunikasi yang intens dengan tim ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Setelah mendalami permasalahan dan tantangannya, tidak salah juga jika tim transisi mengajukan proposal atau strategi kebijakan untuk merawat dan mempertahankan pertumbuhan yang tinggi itu.

Pesannya sederhana saja; bahwa pertumbuhan tinggi itu patut dirawat dan dipertahankan. Tentu dengan penuh kebijaksanaan dan kehati-hatian. Bijaksana dan hati-hati hendaknya digarisbawahi karena pertumbuhan yang tinggi itu masih dibayang-bayangi ketidakpastian global. Pertumbuhan tinggi itu bisa saja tidak kokoh atau rapuh, terutama jika dihadapkan pada fakta naiknya harga minyak mentah di pasar global, serta fluktuasi nilai tukar rupiah-dolar AS.

Pertumbuhan tinggi triwulan pertama-2024, sebagaimana penjelasan resmi pemerintah, disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga yang masih kuat. Selain itu, belanja pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 pun ikut memperkuat konsumsi rumah tangga, antara lain dari pemberian honorarium petugas Pemilu. Maka, agar kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan tetap terjaga, strategi yang paling masuk akal adalah merawat kekuatan daya beli atau konsumsi masyarakat. Daya beli masyarakat itu akan terjaga kalau laju inflasi terkendali.

Sejak awal pekan ini, harga minyak mentah (crude oil) Brent masih bertengger di level 83 dolar AS per barel. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mencermati kenaikan harga minyak dunia. Sementara itu, nilai tukar rupiah-dolar AS hari-hari ini masih di kisaran Rp 16.000 per dolar AS. Semua orang tahu bahwa harga minyak mentah yang naik dan dolar AS yang terapresiasi selalu memberi tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Berkait dengan dua faktor itu, dunia cukup diuntungkan karena baik Iran maupun Israel yang sedang berkonflik mampu menahan diri. Sejauh ini, konflik kedua negara tidak, atau belum, tereskalasi. Jika saja konflik kedua negara berubah menjadi perang terbuka, sejumlah indikator ekonomi pasti akan berubah dengan sangat ekstrim dan tentu saja mencemaskan. Namun, demi kebaikan bersama, komunitas global tentu berharap dan terus mendorong agar Iran-Israel lebih memilih pendekatan dialog untuk menyelesaikan perselisihan mereka.

Berpijak pada situasi global yang demikian itu, rumusan dan strategi kebijakan Indonesia hendaknya bernuansa antisipatif. Bahkan tidak salah juga kalau rumusan strategi kebijakan saat ini sampai pada antisipasi skenario terburuk terhadap dinamika global. Tim transisi pemerintahan baru disarankan untuk mencermati kecenderungan itu. Soalnya, baik skala maupun durasi konflik Iran-Israel tidak mudah diprediksi. Tim transisi harus berani membuat prediksi tentang dinamika global di waktu-waktu mendatang; apakah setelah Oktober 2024 dinamika global semakin positif, atau sebaliknya.

Sebagian masyarakat sudah tahu bahwa APBN tahun berjalan sedang mengalami tekanan yang lumayan berat karena naiknya harga minyak mentah di pasar global, maupun karena faktor melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Nilai atau belanja impor minyak menjadi mahal. Demikian pula subsidi bahan bakar minyak (BBM) ikut membengkak. Menguatnya nilai tukar dolar AS di tengah suku bunga acuan yang tinggi menyebabkan pengeluaran untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri menjadi lebih besar dari sebelumnya.

Sebagian publik pun tahu bahwa bahwa pemerintah saat ini memilih kebijakan menahan harga BBM bersubsidi yang dijual Pertamina pada tingkat yang sekarang, walaupun di saat yang sama produsen BBM lainnya sudah menaikkan harga jual. Kementerian ESDM memang sudah menegaskan pemerintah belum berencana menaikkan harga BBM, kendati kenaikan harga minyak mentah berdampak pada anggaran subsidi energi. Juga dipastikan bahwa pemerintah tidak menaikkan harga BBM hingga Juni 2024 nanti.

Pemerintah baru bersama semua elemen masyarakar tentu berharap transisi pemerintahan nantinya tetap menghadirkan rasa nyaman bagi semua orang. Dalam konteks ini, tim transisi Prabowo-Gibran hendaknya semakin pro aktif untuk berkoordinasi dengan tim ekonomi Presiden Jokowi. Agenda penting yang patut menjadi perhatian adalah merumuskan strategi bersama untuk merawat dan memperkuat daya beli atau konsumsi masyarakat; kemudian merawat dan menjaga laju inflasi agar tetap terkendali; serta mencari strategi yang lebih efektif untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi dalam jangka dekat ini.

Masyarakat selalu gelisah kalau harga energi atau BBM bersubsidi dinaikan. Agar harga energi tetap terjangkau, bukanlah aib jika pemerintah mengubah skala prioritas. Tidak ada salahnya jika program-program yang tidak relevan dengan masalah atau tantangan terkini ditunda, sehingga semua sumber daya yang masih ada digunakan untuk mempertahankan harga energi.

Soalnya, ketika harga energi dinaikan, dampaknya sangat signifikan. Biaya produksi naik. Otomatis harga barang dan jasa ikut naik. Laju inflasi menjadi sulit dikenalikan. Kenaikan harga barang dan jasa akan memperlemah daya beli atau konsumsi masyarakat. Maka, sulit untuk merharapkan pertumbuhan ekonomi nasional akan kuat seperti halnya pertumbuhan triwulan pertama-2024.

*Bambang Soesatyo* – (Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Universitas Borobudur dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)

No More Posts Available.

No more pages to load.