Kerusakan TNP di SaRai Dampak Badai Seroja 2021

by
TNP Laut Sawu Kabupaten Sabu Raijua, saat melakukan sosialisasi terkait ekosistem laut. (Foto: ist)

BERITABUANA.CO, KUPANG – Kerusakan Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu merupakan dampak dari Badai Seroja tahun 2021, yang melanda hampir seluruh wilayah NTT.

Hal ini disampaikan Koordinator TNP Laut Sawu di Kabupaten Sabu Raijua (SaRai), Nur Mujid Abdullah saat dikonfirmasi melalui telepon seluler, Rabu (10/1/2024).

“Setelah Badai Seroja 2021 lalu, kondisi ekosistem rusak parah, dimana terumbu
karang yang ada didalam banyak yang hancur dan mati. Ekosistemnya rusak,
sehingga perairan tidak sehat, jadi butuh proses pemulihan,” ujar dia.

Diakui Nur Mujid, untuk proses pemulihannya membutuhkan waktu yang sangat lama, tidak cukup hanya satu atau dua tahun. Apalagi kalau tidak ada intervensi dari yang berwenang, akan semakin lama.

“Sedangkan di SaRai sendiri, warganya sering menggunakan terumbu karang untuk kegiatan-kegiatan ritual dan adat, meskipun tidak banyak yang diambil. Jadi kerusakan ekosistem karena ancaman dari alam misalnya seroja, ada juga ancaman dari manusia,” papar Nur Mujid.

Badai Seroja, kata Nur Majid, juga mengganggu pertumbuhan rumput laut yang ada disekitar daerah Meting (pasang surut), dan Lamun (rumput liar di laut).

“Kalau ingin melakukan budi daya lagi, maka harus dibongkar dan dibersihkan
dahulu, akibatnya perairan disekitar menjadi terganggu, karena fungsi dari
ekosistem adalah menyaring kondisi perairan disitu agar menjadi lebih baik,”
ungkap Nur Mujid.

Saat lakukan sosialisasi, lanjut Nur Mujid, masyarakat memang menyampaikan bahwa ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab, melakukan pemboman ikan, yang mengakibatkan terjadi kerusakan ekosistem laut.

“Tugas kami bukan untuk melakukan penyelidikan, tapi hanya pemantauan. Sedangkan tugas untuk melakukan pengawasan dan tindakan, merupakan wewenang Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP),” jelas dia.

Dikatakan Nur Mujid, pihak PSDKP yang memiliki kewenangan mengawasi warga yang melakukan pengrusakan, seperti pengeboman, atau menggunakan kapal yang tidak sesuai ukurannya.

“Kalau dikawasan konservasi, ukuran kapal yang diperbolehkan adalah di bawah 5 GT. Kalau diatas itu, dilarang,” tegas Nur Mujid.

Saat ini, jelas Nur Mujid, di Kabupaten Sabu belum ada petugas PSDKP maupun
Polisi Air (Polair), kalaupun datang hanya sebagai perkunjungan.

“Sehingga kami hanya menampung informasi dari warga, lalu meneruskan ke PSDKP atau Polair, mereka mau menindaklanjuti seperti apa, itu kewenangan mereka,” tambah dia.

Pihaknya, kata Nur Mujid, hanya bisa melakukan sosialisasi, kalaupun ketemu
oknum tersebut sebatas memberikan teguran saja.

“Keberlangsungan ekosistem laut, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi semua pihak, termasuk masyarakat dan NGO yang perduli akan lingkungan,” tandas dia.

Dikatakan Nur Mujid, TNP Laut Sawu dikelola BKKPN Kupang, yang Wilayah Kerja (Wilker) mencakup wilayah disekitar Pulau Timor, Pulau Rote Ndao (RoNda), Pulau SaRai, Pulau Sumba dan Pulau Flores tepatnya di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat.

“Laut Sawu itu luas. Kalau terkait kondisi ekosistem seperti mangrove, terumbu
karang, rumput laut maupun lamun, itu berbeda-beda di setiap lokasi,” tambahnya.

Sebelumnya, Erasmus Frans, Caleg DPRD Provinsi NTT saat melakukan kunjungan di Kabupaten SaRai, menyaksikan kondisi Kawasan Konservasi Taman Nasional Laut Sawu SaRai, cukup memprihatinkan, sehingga perlu Perhatian dan penanganan serius baik dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) SaRai dan yang lebih memiliki kewenangan regulatif dan kontrol wilayah pesisir dan perairan laut. (iir)