Keikutsertaan Gibran, Pengamat Sangsikan Netralitas Alat Negara di Pemilu 2024

by
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menilai keikutsertaan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka berpotensial mempengaruhi netralitas alat negara.

Menurutnya, Potensi itu juga tidak harus by intention atau disengaja, tetapi secara tidak langsung bisa mempengaruhi netralitas alat negara. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada orang-orang yang bekerja di instansi pemerintah yang mengidolakan Jokowi dan kemudian merasa bahwa membantu Jokowi adalah sesuai dengan keinginannya.

“Problemnya, kalau itu dilakukan, maka bukan tidak mungkin mulai dari netralitas birokrasi, netralitas TNI, Polri itu bisa terganggu,” kata Arif kepada awak media, di Jakarta, Jumat (10/11/2023).

Arif juga mengkhawatirkan pencalonan Gibran jika diteruskan akan membuat bangsa Indonesia kehilangan ruh politik berkeadilan. “Kalau ini dibiarkan nanti kita akan terjebak pada gaya-gaya lama, ketika nepotisme dianggap normal, ketika pelanggaran etika dianggap bisa diterima sejauh tidak melanggar hukum,” ujarnya.

“Nanti lama-lama politik dan hukum kita terjebak pada formalisme dan kalau itu terjadi, negara ini kehilangan ruh politik yang berkeadilan,” tambah Arif.

Hal itu bisa dihindari ketika Jokowi adalah negarawan dan mau menghindari potensi konflik kepentingan. “Itu seharusnya bisa dihindari seandainya Jokowi adalah seorang negarawan,” ungkap Arif.

Namun, Arif menyangsikan sikap kenegarawanan Jokowi, termasuk Jokowi dan Gibran. “Jadi saya mau mengatakan bahwa baik Jokowi, Prabowo, Gibran, dan seluruh ketua partai yang mendukung pencalonan Prabowo-Gibran tidak memiliki karakter sebagai seorang negarawan, dan ini sama dengan Anwar Usman,” ucap Arif.

Alasannya, sambung dia, disebabkan mereka tidak menghindar bahkan masuk pada potensi konflik kepentingan.

“Mengapa? Karena mereka semua tidak mampu menghindari potensi konflik kepentingan atau menganggap konflik kepentingan adalah sesuatu yang wajar, yang bisa diterima,” paparnya.

Oleh karena itu, majunya Gibran menjadi capres ketika Jokowi masih sedang menjabat sebagai presiden adalah melanggar keutamaan. Arif membedakan antara tuntutan kepantasan bagi rakyat biasa dan keutamaan bagi para pemimpin.

“Terhadap pemimpin itu tuntutannya lebih dari sekadar kepantasan, yaitu keutamaan. Termasuk dalam keutamaan adalah kalau para pemimpin bersedia menghindari sesuatu yang punya potensi konflik kepentingan,” pungkas Arif. (Jal)