Fenoma Kehadiran Gibran di Pilpres 2024, Disrupsi Politik Sepanjang Indonesia Modern

by
Diskusi Gelora Talk dengan tema 'Gibran: Mengulas Plus dan Minusnya', yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Gelora TV. (Foto: G<C)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Kehadiran putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 seperti kemunculan startup baru di bidang teknologi. Yakni, memiliki potensi besar untuk mendisrupsi produk-produk konvensional yang sudah ada sebelumnya, sehingga menimbulkan kekagetan dimana-mana.

Penilaian ini disampaikan Direktur Eksekutif IndoBarometer Muhammad Qodari saat menjadai nara sumber dalam dalam diskusi Gelora Talk dengan tema ‘Gibran: Mengulas Plus dan Minusnya’, yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Gelora TV, dikutip Kamis (2/11/2023).

Ia pun mencontohkan Gojek misalnya, ketika baru lahirkan menimbulkan disrupsi teknologi, karena memang regulasinya tidak siap mengantisipasi kemajuan teknologi, padahal punya potensi berkembang.

“Ini analogi yang saya coba pakai untuk menjelaskan fenomena Gibran. Gibran ini adalah calon wakil presiden (cawapres) termuda sepanjang Indonesia modern, yang selama ini diisi oleh cawapres tua yang dimulai era Presiden Soeharto seperti Sudarmomo, Tri Sutrisno, BJ Habibie dan lain-lain. Jadi nggak mudah memang mendisrupsi pikiran sebagian politisi kita, terutama yang senior-senior. Mereka melihat Gibran ini agak aneh, karena dalam kacamata politik selalu dilihat harus melalui proses birokratisasi,” katanya.

Padahal politik itu, seharusnya dilihat mirip dengan dunia usaha, tidak boleh pakai kacamata birokrasi. Jika pakai kacamata birokrasi, namanya jabatan-jabatan tinggi itu tidak mungkin dicapai orang yang masih muda, harus berjenjang linier.

“Makanya ketika berbicara Sekda Provinsi, Kabupaten/Kota, semuannya pasti sudah tua, tidak ada yang muda. Begipula dengan Kapolda atau Jenderal, tidak ada yang usia dibawah 40 tahun,” ujarnya.

Namun, ketika berbicara dalam dunia bisnis, maka tidak akan kaku melihatnya, karena tidak ada soal batas usia. Karena yang diutamakan adalah kemampuan eksekusi dan organisasi, sehingga bisa mendatangkan laba atau cuan.

“Visi dan misinya anak muda ini jauh ke depan, dan dimungkinkan lakukan percepatan. Kalau di dalam politik, masa usia dipertanyakan, tapi kalau dalam bisnis apakah ada yang mempersoalkan kalau direkturnya atau pemiliknya, umurnya 28 tahun, sementara karyawannya usia 60 an, misalnya. Mark Zuckerberg mendirikan itu kira-kira diusia 21 tahun dan sekarang menjadi kaya raya di usia 39 tahun,” jelas Qodari.

Artinya, kehadiran Gibran ini telah mendisrupsi secara politik, peran-peran politisi tua yang tidak mau digeser politisi muda. Hal itu terjadi di semua partai politik lama.

“Di Golkar misalnya, ruang bagi anak muda untuk bisa menjadi ketua umum itu sulit. Saya pernah mendengar cerita Bahlil Lahadalia di usia 47, mantan ketua HIPMI da juga Menteri Investasi, ketika ada wacana maju sebagai calon ketua umum. Seniornya bilang, dinda saya ini lebih senior di organisasi, dan bisa disebut muda. Jadi ketika berbicara tua muda, yang tua ini maunya disebut muda, padahal sudah tua,” katanya.

Sehingga kehadiran Gibran ini, wajar apabila menimbulkan pro kontra di publik dan menjadi disrupsi politik di Pilpres 2024.

“Dalam dunia teknologi, Gibran ini barang bagus, belum ada di pasar, punya potensi berkembang pesat. Kalau di pasar sekarang kan banyak yang KW 1, KW2 dan KW3. Makanya dalam politik itu harus pakai kacamata bisnis, bukan birokrasi,” tegasnya.

Qodari menilai lucu ketika tingkah pola politisi tua yang menolak Gibran, padahal Bung Karno (Soekarno) menjadi ketua umum PNI diusia yang masih sangat muda, 26 tahun. Bahkan pidato-pidato Bung Karno yang menjadi slogan perjuangan Indonesia melawan penjajah kolonial Belanda itu, dibuat diusia 29 tahun.

Karena itu, Qodari yakin gugatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di sidang di Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik dalam putusan tentang batas usia capres-cawapres tidak akan mengubah putusan.

“Saya yakin nggak bisa berubah, karena sudah jelas undang-undangnya itu bersifat final dan mengikat, Kalau misalnya nanti ditemukan masalah-masalah dalam proses pengambilan keputusan tetap tidak akan membatalkan putusan. Sudah ada contohnya, pernah terjadi peritiwa Akil Mochtar ditangkap, karena kasus suap kan putusannya tidak berubah, tidak dibatalkan. Apalagi dalam kasus ini, tidak ada unsur pidananya,” katanya.

Direktur Eksekutif IndoBarometer ini menambahkan, Partai Gelora adalah partai yang paling kompatibel dalam peta perpolitikan sekarang, dibandingkan partai besar sekalipun. Partai Gelora bisa memainkan perannya untuk mewujudkan Indonesia Superpower baru seperti visi Presiden Jokowi menuju Indonesia Emas 2045.

“Indonesia Superpower baru itu, diamanatkan di program Indonesia Emas 2045. Nah, presiden yang bisa menjalankan program adalah Prabowo Subianto yang didukung Partai Gelora. Artinya, partai yang paling kompatibel dengan cerita politik pada hari ini adalah Partai Gelora,” tandasnya. (Asim)