Milenial Jangan Buta Politik agar Tidak Terjebak Halo Effect

by
Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Membedah Partisipasi Milenial Dalam Pemilu 2024” yang diseleggarakan di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan. Tampil sebagai pembicara Anggota Fraksi Partai NasDem Willy Aditya, Caleg DPRD DKI dari PSI Zebi Magnolia dan Pengamat Politik Abdul Hakim MS. (Foto Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pemilih milenial yang menjadi kelompok pemilih potensial untuk kemenangan pemilu diminta lebih aktif dan partisipatif mencari tahu dan memahami karakter dari para kontestan Pemilu Serentak 2024.

Hal ini penting agar pemilih milineal tidak terjebak pada politik helo effect para calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) serta para calon anggota legislatif (caleg).

Anggota DPR RI Willy Aditya mewanti-wanti adanya buta politik di kalangan milenial. Sebab, pemilih yang buta politik mudah dimanfaatkan dan diarahkan oleh kandidat capres-cawapres dan para caleg dengan kampanye politik helo effect.

“Kalau nafsu sudah di-ubun-ubun, semuanya buta. Pemilukan penyakitnya itu. Penyakit paling kronis dalam kontestasi elektoral, namanya halo effect dan dia paling kejam. Ini lebih kejam dari kalau kita pakai bahasa, itu lebih kejam dari ibu tirinya Ari Anggara,” ucap Willay Aditya dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Membedah Partisipasi Milenial Dalam Pemilu 2024’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2023).

Untuk diketahui, halo effect adalah penilaian terhadap sesuatu dan seseorang dari kesan pertama yang akan mempengaruhi sikap dan sifat seseorang atas sesuatu atau terhadap seseorang. Jika yang dipersepsikan menarik, maka penilaian positif akan terus mengekor di pikiran seseorang. Sebaliknya, jika dipersepsikan negatif dan kebencian maka juga akan terus ada dalam benak seseorang.

Saat ini, menurut Willy, paslon capres-cawapres beserta tim tim pemenangannya juga semakin gencar dan masif kampanye. Juga para caleg menjelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang akan dilaksanakan secara serantak pada 14 Februari 2024 mendatang menyisakan waktu hitungan hari saja.

Kampanye dilakukan melalui beragam sarana terutama memanfaatkan platform media sosial yang paling disuka kelompok milenial. Sayangnya, sambung Willy, kampanye yang ditampilkan seringkali bukanlah agenda program tetapi lebih menonjolkan sosok dan figur. Sehingga hampir semua kampanye yang dilakukan sama, memuji kandidat yang dijagokan, tetapi di sisi lain membully, menyemat kesan negatif dan membenci rival politiknya.

“Kontek kekejaman dari elektoral ini, dia tidak punya variabel lain kecuali halo effect dan menang. Sehingga agenda program calon tak jadi penting,” ungkap Willy.

Mewakili caleg milenial, Zebi Magnolia, caleg DPRD DKI Jakarta pendatang baru dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengatakan ada tanggungjawab moral dari caleg-caleg muda seperti dirinya untuk merangkul para milenial untuk tidak menjadi pemilih yang buta politik.

“Antusiasme gen Z dan milenial itu sekarang di 69% sampai 77% dan ini bisa juga cukup besar meskipun mengalami penurunan dari Pemilu 2019 sebelumnya. PR-nya adalah gimana caranya kita tetap menjaga antusiasme tersebut,” kata Zebi.

Ia mengaku ada perasaan khawatir dengan penyelenggaraan pemilu secara serentak yang baru pertama kali akan dilaksanakan ini. Karena berdasarkan pandangan teman-teman yang didengarnya lebih cenderung mengikuti pemilu yang simple dan praktis.

Sementara, sambung dia, dengan sistem pemilu yang dilaksanakan secara serentak para pemilih milenial akan disuguhi oleh surat suara yang banyak dan ribet karena harus memilih empat surat suara yaitu untuk pilpres dan surat suara pileg DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, Zebi sependapat agar semua pihak terutama penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga para peserta pemilu mulai dari kandidat capres-cawapres, para caleg termasuk partai politik untuk memberikan akses dan pendidikan politik yang benar.

“Saya melihat tantangannya ada tiga untuk politisi yang bisa dibilang muda. Tantangannya itu pertama, transaksional, terus kedua itu rasional, dan ketiga itu emosional,” ujar Zebi.

Pengamat Politik, Abdul Hakim MS mengatakan pemilih milenial yang datang dari generasi Y (kelahiran tahun 1981 ke atas) dan generasi Z (kelahiran di atas tahun 2000) jumlahnya hampir 54% dari jumlah pemilih, sehingga akan menjadi penentuan dalam Pemilu Serentak 2024.

“Menariknya sekarang, dari survei yang saya lakukan di bulan Agustus sampai September, karakteristik dalam sektor politik untuk generasi ini, khususnya milenial, kebiasaan mereka ternyata dari 100% milenial, 74% nya sudah punya akun media sosial,” ungkap Abdul Hakim yang juga Direktur Eksekutif, Skala Survei Indonesia (SSI).

Meski mayoritas mendapat kemudahan akses teknologi internet dan medsos, namun ternyata baru separuhnya memiliki akses dalam informasi politik.

“Artinya ini kan PR serius, jika kita mau menaikkan tingkat partisipasi milenial,” ujarnya.

Abdul Hakim sependapat jika tanggungjawab para capres-cawapres dan para caleg adalah merangkul para milenial ini yang langsung menyentuh persoalan utama yang dihadapi para milenial saat ini dengan program dan agenda yang disusun para kontestan.

“Karena menarik dari milenial Indonesia saat ini, persoalan utama yang dihadapi ada 8 persoalan dan saya hanya ambil 5 besarnya saja. Yaitu, semuanya terkait dengan pertama, situasi ekonomi. Kedua, persoalan serius bagi kalangan milenial adalah sulitnya lapangan pekerjaan. Ketiga, mahalnya kebutuhan pokok. Keempat, sering terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), dan kelima adalah masalah kemiskinan,” tegas Abdul Hakim. (Kds)