Komite IV DPD RI Minta Pemerintah Tingkatkan Keuangan Transfer Daerah

by
Konferensi pers Komite IV DPD RI terkait RAPBN 2024 di Lobi Gedung DPD RI Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite IV DPD RI mengkritisi RAPBN 2024 diantaranya minta pemerintah meningkatkan keuangan transfer daerah, mengingat pembangunan dan pemerataan kesejahteraan itu ada di daerah. Apalagi, daerah selama ini telah banyak berkontribusi pada negara sejak adanya otonomi daerah, baik dari sisi pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Demikian disampaikan Ketua Komite IV DPD RI  Komite IV DPD RI Amang Syafrudin didampingi Fernando Sinaga (Wakil Ketua Komite IV), dan sejumlah Anggota Komite IV DPD RI, kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (7/9/2023). Mereka yang hadir adalah Made Mangku Pastika (Anggota Prov. Bali), Sudirman (Anggota Prov. Aceh), Amirul Tamim (Anggota Prov. Sulawesi Tenggara), dan Tamsil Linrung (Anggota Prov. Sulawesi Selatan).

Lebih lanjut Amang mengatakan, sebagai wakil daerah di pusat dan keberpihakan serta kebersamaan dengan daerah untuk perjuangan otonomi daerah sesuai kewenangan yang optimal, salah satunya pertimbangan dan pengawasan APBN serta dampaknya pada otonomi daerah.

“Sehingga penyusunan RAPBN menjadi tanggung jawab bersama lembaga legislatif (DPR RI bersama DPD RI) dan lembaga eksekutif (Pemerintah),” ujarnya.

Dijelaskan Amang, bahwa sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 22D dan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 serta Peraturan Perundang-undangan atau Perppu, DPD RI wajib memberikan pertimbangan dan rekomendasi dalam penyusunan RAPBN Tahun 2024. Oleh karena itu, terhadap RUU APBN 2024, DPD RI mengampaikan penilaian penting dimana salah satunya adalah pesimisme dan juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberanian untuk bekerja lebih keras.

“Hal ini ditandai dengan target pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,2%, di bawah capaian tahun 2022 yang sebesar 5,3%. Di sisi lain, pemerintah justru optimis menaikkan target pendapatan negara dalam RAPBN TA 2024.,” katanya.

DPD RI, lanjut Amang, pada prinsipnya mendukung optimisme tersebut, namun dengan catatan sumber kenaikan pendapatan negara tidak ditargetkan dari kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Keluar sehingga tidak memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat dan eksportir UMKM.

“Oleh karena itu pemerintah dapat mengupayakan kenaikan target pendapatan yang bersumber dari: peningkatan tax ratio 12,5%; perluasan basis pajak, percepatan implementasi pajak karbon, dan pajak digital,” sebut dia.

Banyaknya Mandatory Spending Jadi Beban

Di sisi lain, masih menurut Amang, banyaknya mandatory spending yang menjadi beban pemerintah daerah bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 18 ayat 5 serta menggambarkan bahwa pemerintah tidak konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang menegaskan adanya desentralisasi fiskal karena dalam RAPBN 2024 porsi APBN masih terkonsentrasi di pemerintah pusat, sehingga semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagaimana digaungkan dalam UU HKPD tidak tercermin dalam RAPBN 2024.

“DPD RI juga mendesak agar porsi anggaran untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) minimal seimbang dengan porsi anggaran untuk belanja pemerintah Pusat, mengingat bahwa Daerah selama ini telah banyak berkontribusi pada negara sejak adanya otonomi daerah, baik dari sisi pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi secara inasional,” katanya.

Amang juga menyebut kalau pemerintah kurang memahami permasalahan daerah terkait kemiskinan, yang ditunjukkan dengan data dari BPS bahwa dari tahun 2014-2023 terdapat 14 (empat belas) Provinsi yang mengalami kenaikan kemiskinan ekstrem.

“Untuk menekan laju peningkatan kemiskinan ekstrem ini, maka DPD RI mendesak pemerintah agar

dana Perlindungan Sosial (Perlinsos), penanganan stunting program yang berkaitan dengan kemiskinan lainnya tidak disalurkan melalui Kementerian/Lembaga, melainkan langsung kepada daerah dalam bentuk dana TKDD,” imbuhnya.

Terakhir Amang menilai bahwa indikator kesejahteraan sosial yang digambarkan oleh tingkat kemiskinan, Gini Rasio dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), masih jauh dari harapan. Padahal, target pemerintah sebagaimana tergambar dalam data BPS yang menyebutkan angka harapan hidup di 25 (dua puluh lima) Provinsi, masih berada di bawah angka nasional.

“Angka kemiskinan masih di angka 9,36%, dan IPM 72,91. Oleh karena itu Pemerintah dituntut untuk bekerja lebih keras dengan segera mewujudkan integrasi data Perlindungan Sosial (Perlinsos) dan realisasi anggaran pendidikan yang tepat sasaran,” pungkasnya. (Jimmy)