Pemilu di Indonesia Amanat Konstitusi dan UU, Jangan Merusak Persatuan dan Kesatuan Bangsa

by
Pemilu 2024. (Photo: Ilustrasi)

Oleh : Andoes Simbolon, wartawan beritabuana.co

PELAKSANAAN pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 sudah semakin dekat. Waktunya sebentar lagi atau sudah di depan mata. Penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tahapan dan jadwal pemilu, dimana diantaranya adalah waktu pemungutan suara pada tanggal 14 – 15 Februari 2024 secara serentak di semua wilayah Indonesia, termasuk di luar negeri. Warga negara Indonesia yang sedang berada di negara-negara lain di data untuk didaftar, dan yang memenuhi persyaratan ikut serta berpartisipasi memberikan suaranya.

Disebut serentak, karena di saat pemungutan suara pada pemilu tersebut, masyarakat akan memilih anggota DPR RI, anggota DPRD tingkat Provinsi, anggota DPRD tingkat Kabupaten/Kota, anggota DPD RI, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden periode 2024 – 2029. Anggota DPR RI, anggota DPRD tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota, serta anggota DPD RI hasil Pemilu 2019 sudah akan berakhir masa jabatannya pada bulan Oktober 2024.

Begitu juga masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil presiden Ma’ruf Amin serta kabinet kerja  yang mereka pimpinan, juga akan ikut selesai pada tahun yang sama. Sesuai ketentuan perundangan, Jokowi  sudah tidak bisa dicalonkan kembali sebagai presiden, karena sudah menjabat  selama 2 (dua) periode. Sementara Wapres Ma’ruf Amin memang tidak menyatakan kesediaannya untuk dicalonkan dalam pilpres nanti.

Sementara  anggota DPR RI, DPRD dan DPD RI periode 2019-2024 diketahui masih banyak mengajukan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg), atau sering disebut sebagai calon petahana untuk pemilu 2024. Pada pemilu nanti, banyak wajah baru dengan beragam latar belakang ikut berebut kursi DPR RI maupun kursi DPRD.

Karena itu bisa dibayangkan seperti apa repot nya masyarakat yang akan memberikan suaranya di bilik suara tempat-tempat pemungutan suara (TPS). Ada kertas surat suara untuk anggota DPR RI, anggota DPRD tingkat Provinsi, anggota DPRD tingkat Kabupaten/Kota dan surat suara untuk anggota DPD RI serta kertas suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI.

Hal demikian lah yang membedakan pemilu sebelumnya dengan pemilu di era reformasi. Seperti diketahui, Indonesia sudah melaksanakan pemilu sejak tahun 1955 di era Presiden RI pertama Soekarno. Di era Orde Baru atau di masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemilu juga sudah pernah dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan terakhir Pemilu 1997.

Indonesia Punya Pengalaman

Masuk di era Reformasi, Indonesia sudah melaksanakan pemilu sebanyak 5 (lima) kali, yakni Pemilu 1999, 2024, 2009, 2014 dan Pemilu 2019. Ini berarti Pemilu 2024 nanti merupakan pemilu yang ke 6 (enam) kalinya. Artinya lagi Indonesia sebetulnya sudah  termasuk negara yang cukup berpengalaman dalam melaksanakan pemilu, dan  dilaksanakan secara berkala setiap lima tahun sekali.

Meski pun sudah cukup berpengalaman, ada beberapa hal yang berbeda dari pelaksanaan pemilu tersebut. Misalnya saja , jika di era Orde Baru pemilu dimaksudkan atau berfungsi untuk memilih anggota DPR RI dan DPRD tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota, maka sejak apemilu 2004, pemilu juga berfungsi untuk memilih anggota DPD RI serta memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, hal yang berbeda saat era Orde Baru, dimana presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR RI.

Perbedaan juga ada pada kepala daerah, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, bukan lagi dipilih oleh DPRD, tetapi sudah dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).

Perubahan-perubahan praktek ketatanegaraan tersebut dikarenakan adanya amandemen UUD Negara 1945 pada tahun 2002. Perubahan tersebut tidak lain sebagai tuntutan masyarakat yang menginginkan reformasi politik pada tahun 1998.

Soal presiden dan wakil presiden misalnya, pada Pasal 6A ayat (1) disebutkan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya pada ayat (2) menyebut, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Sistem atau mekanisme pemilihan itu berbeda sekali pada UUD Negara RI 1945 sebelumnya, dimana pada Pasal 6 ayat (2) berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.

Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden juga dibatasi dalam UUD Negara RI Tahun 1945 hasil amandemen sehingga tidak lagi menimbulkan multi tafsir dan memicu perdebatan. Sebuah isyarat yang bisa ditafsirkan bahwa Indonesia mengalami kemajuan dalam mempraktekkan demokrasinya.

Misalnya lagi soal pembatasan masa jabatan seperti tercantum dalam Pasal 7 yang berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Hal ini menandakan bahwa secara konseptual, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi konstitusional, dimana demokrasi yang dilaksanakan harus dikawal oleh konstitusi (UUD).  Penting juga dikemukakan mengenai peserta pemilu yang berubah dalam setiap pemilu. Jika di era orde baru jumlah  peserta pemilu hanya 3 (tiga) parpol, maka pemilu di era reformasi jumlahnya bertambah banyak. Hal ini tidak lepas dari kebijakan  B.J Habibie yang membuka keran demokrasi seluas-luasnya setelah menjadi presiden mengganti Soeharto tahun 1998.

Untuk Pemilu 2024,  peserta pemilu yang telah disahkan oleh KPU sebanyak 24 parpol, terdiri dari 18 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh. Dari 18 parpol nasional itu terdiri dari partai peserta pemilu 2019 yang memiliki kursi di DPR RI dan 9 partai baru yang tidak memiliki kursi di DPR RI (non parlemen). Partai-partai ini akan memperebutkan 580 kursi  DPR RI periode 2024 – 2029 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilu. Penambahan jumlah kursi dari sebelumnya 575 menjadi 580 kursi disebabkan penambahan 4 (empat) Provinsi baru di Papua yang diatur dalam Perppu itu.

Pemilu dan Demokrasi Konstitusional

Menurut Wakil Ketua MPR RI Dr. H. Jazilul Fawaid, reformasi yang terjadi pada 1998 telah mengamanatkan beberapa perubahan mendasar yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Reformasi yang merupakan cerminan aspirasi rakyat pada waktu itu menurut Jazilul Fawaid menghendaki sebuah praktik politik dan pemerintahan yang berkhidmat pada prinsip-prinsip demokrasi, pelaksanaan pemilu sebagai wujud daulat rakyat dalam memilih representasi nya baik di eksekutif maupun di legislatif, serta terciptanya negara hukum yang bersifat adil dan mampu menjamin setiap hak asasi warga negaranya.

“Aspirasi -aspirasi tersebut semuanya dibingkai dalam kerangka konstitusi yang dijadikan sebagai panduan hukum dalam praktik politik dan pemerintahan,” kata Jazilul dalam sebuah  tulisannya yang dimuat di www.mpr.go.id , 10 September 2021.

Politisi senior PKB ini pun mengingatkan, di era pasca Reformasi, dorongan untuk menjalankan praktik demokrasi konstitusional terus menguat terhadap pemerintah atau para penyelenggara negara. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk penginsyafan atas  kesalahan praktik politik dan pemerintahan di era orde baru yang penuh penyimpangan.

Menurut Jazilul, demokrasi yang diharapkan berjalan adalah demokrasi konstitusional yang berbasis konstitusi, yakni demokrasi yang mampu membatasi wewenang negara dengan cara praktik demokrasi yang mampu menetapkan batas-batas wewenang negara atau pemerintah, serta prosedur -prosedur demokratis dalam penyelenggaraan wewenang tersebut.

Jazilul berpendapat, pelaksanaan pemilu di Indonesia berpijak pada prinsip konstitusionalisme. Pemilu sambung dia, pada hakikatnya merupakan saluran bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi dan hak politik mereka dalam mewujudkan sirkulasi kepemimpinan bagi wakil-wakilnya yang akan duduk di level eksekutif maupun yudikatif, dilaksanakan dengan merujuk pada prinsip demokrasi dan daulat rakyat.

“Rakyat bertindak langsung sebagai direct voters di semua level pemilihan, baik pemilihan umum presiden, pemilihan umum kepala daerah, hingga pemilihan umum legislatif; nasional maupun daerah,” tegasnya.

Untuk memperkokoh penyelenggaraan pemilihan umum yang berbasis konstitusi,maka kata Jazilul, lembaga-lembaga pemilihan umum, seperti KPU, Bawaslu, juga diperkuat fungsi dan peranannya agar mendukung penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional dan demokratis.

“Harus jujur diakui bahwa masih banyak problematika dalam pemilihan umum saat ini, seperti adanya dual legitimacy antara eksekutif dan legislatif sebagai konsekuensi sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, ambang batas pencalonan presiden, rezim pelaksanaan pemilihan umum secara serentak yang sangat costly, dan masih banyak lagi. Namun demikian, pencapaian hari ini harus tetap diapresiasi,” kata Jazilul.

Pengalaman dalam melaksanakan pemilu membuat Indonesia semakin matang dan dewasa dalam berdemokrasi. Di sana sini  memang masih ditemui kekurangan-kekurangan atau  kelemahan, baik secara konseptual maupun secara teknis, tetapi hal tersebut secara perlahan-lahan dapat diatasi karena semangat ber Indonesia menjiwai seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Sejak kemerdekaan, Indonesia telah menetapkan sebuah konsep negara demokrasi, dimana ada lembaga legislatif yang dipilih melalui pemilu, menganut paham konstitusional, menyelenggarakan pemilu dan sistem kepartaian.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah dikatakan, bahwa pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Pemilu ini sendiri disebut dalam Pasal 167 ayat (1) dilaksanakan setiap 5 (lima ) tahun sekali.

Sementara penyelenggara pemilu menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 1 ayat (7)  terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Baswalu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat. Karena itu dibutuhkan profesionalitas penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya serta lebih kredibel dan independen.

Bagaimana pun, semua pihak jelas menginginkan pelaksanaan pemilu 2024 berjalan tanpa ada  hambatan apalagi sampai memicu gejolak yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa hanya karena pilihan politik yang berbeda. Presiden Joko Widodo misalnya sudah pernah menyampaikan keinginannya sekaligus mengajak semua pihak agar pelaksanaan pemilu disiapkan dan dijaga agar hasil dan prosesnya berjalan dengan baik. Presiden Joko Widodo mengibaratkan, pemilu adalah sebuah pesta demokrasi, maka sudah seharusnya rakyat bergembira dengan adanya pemilu. Selain itu, rakyat juga harus terbebas dari ketakutan-ketakutan dan tidak boleh ada pertengkaran-pertengkaran.

“Mestinya seperti itu, rakyat harus bersenang, rakyat harus bergembira. Namanya pesta demokrasi,” imbuh Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan di acara syukuran 1 Abad Nahdlatul Ulama dan 25 Tahun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Stadion Manahan, Kota Surakarta, Jawa Tengah , Minggu (23/7/2023) lalu.

Lebih penting lagi, Presiden Joko Widodo berpesan, tidak ada lagi ujaran kebencian, berita bohong dan fitnah dalam gelaran pemilu, terutama di platform media sosial. Menurutnya, hal-hal tersebut kerap terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Lebih jauh, Presiden Jokowi mengatakan bahwa perbedaan pilihan itu adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Oleh sebab itu, Presiden mengimbau agar perbedaan pilihan tidak menjadikan rakyat saling bertengkar dan saling menjelekkan hingga berkepanjangan.

Semakin Memanas dan Dinamis

Seperti diketahui, suhu politik menjelang Pemilu 2024 terasa sudah  semakin memanas, khususnya dalam perebutan kursi presiden dan kursi wakil presiden, dinamika nya begitu tinggi, seperti yang terlihat manuver elit partai dalam penjajakan koalisi untuk mengusung capres dan cawapres. Ditengah masih dinamisnya pencarian pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, para pengikut atau pendukung ketiga bakal capres yang sudah ada saat ini terlihat sudah mulai melakukan serangan -serangan secara terbuka terutama di media sosial. Aksi dukung mendukung kepada calon tertentu menjadi pemandangan hal biasa dalam proses pemilu 2024.

Hal ini memang mencemaskan karena benih-benih permusuhan sudah mulai muncul ke permukaan, seperti halnya yang pernah terjadi pada Pilpres 2019, seperti banyaknya berita hoax, ujaran kebencian berbau SARA,  bahkan fitnah ikut disebar. Pada hal, pemilu adalah sebuah sarana kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya harus demokratis dan sesuai dengan asas-asas pemilu itu sendiri. Ada kecenderungan, hasrat untuk meraih posisi-posisi kekuasaan di dalam pemerintahan mengabaikan norma dan aturan yang sudah ada disepakati bersama.

Masih On The Track

Terkait dengan proses pelaksanaan Pmilu 2024 yang sedang berjalan ini, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai masih on the track, terlebih menyikapi komitmen pemerintah maupun komitmen penyelenggara pemilu itu sendiri.

“Kalau kita melihat tahapan pemilu saat ini, ketika tahapannya masih berjalan saat ini, semuanya berjalan masih on the track sesuai dengan amanah konstitusi, bahwa kita bangsa indonesia menjalani proses demokrasi dengan penuh dinamika tapi semuanya alhamdulilah bisa diatasi bersama,” kata Ujang yang dihubungi belum lama ini.

Ujang sempat mengkuatirkan gangguan yang sempat muncul di tengah proses berjalannya tahapan pemilu, seperti wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo dan polemik yang menuai kontroversi tentang sistem pemilu.

Ujang mengapresiasi bahwa agenda Pemilu 2024 sudah mengarah pada pelaksanaan yang sudah disepakati bersama, antara DPR RI, pemerintah dan penyelenggara pemilu. Karena itu disarankan supaya semua pihak menjaga proses pemilu dengan segala dinamikanya berjalan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai pemilu dijadikan ajang untuk memecah belah masyarakat, untuk menebar isi SARA.

“Kita ingin pemilu di Indonesia damai, aman dan masyarakat kita tetap bersatu, bahkan suka tidak suka pemilu itu harus kita jaga bersama agar pemilunya berkualitas,” ucap Ujang.

Ditambahkan, kalau pemilunya berkualitas, berarti sebagai cerminan pemilu kita bagus, dan kalau itu terjaga sudah tentu akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Sebaliknya kata Ujang, kalau pemilunya hancur penuh kecurangan, maka sama kita akan menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas dan pemimpin korup. ***