Koneksitas Bukan Impunitas

by
KPK dan Basarnas. (Foto: Istimewa)
Aboe Bakar Al Habsyi. (Foto: Ist)

Oleh: Aboe Bakar Al Habsy (Anggota Komisi III DPR RI/Sekjen DPP PKS)

PUBLIK cukup dikagetkan dengan permintaan maaf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Operasi Tangkap Tangan (OTT) Pejabat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang juga merupakan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif. Meski demikian, kedua instansi tersebut sepakat untuk berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. Dalil koneksitas menjadi salah satu argumentasi terbesar permintaan maaf KPK yang mengacu pada dua rezim kewenangan pengadilan. Puspom (Pusat Polisi Militer) TNI menyatakan bahwa penangkapan harus sesuai dengan hukum yang berlaku pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer).

Pasalnya, dua di antara lima tersangka OTT adalah anggota TNI aktif. Menurut Puspom TNI, penangkapan seharusnya terlebih dahulu melibatkan tim koneksitas yang terdiri dari polisi militer, oditur, dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum, secara kolektif sesuai kewenangan masing-masing.

Koneksitas memang sangat dibutuhkan dalam dua perpektif penting. Pertama, untuk memastikan adanya equality before the law dalam konteks ketidak setaraan posisi atau kekuasaan. Kedua, koneksitas juga menjadi penting dalam upaya pendalaman dan keahlian penanganan perkara. Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh militer, koneksitas menjadi urgen untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak menjadi lemah disebabkan jabatan militer yang dimiliki. Status kemiliteran secara umum memiliki struktur komando dan kendali khusus terhadap senjata. Dalam literatur yang lebih khusus, kelompok militer dikenal juga manager of violence. Kelompok inilah yang secara sah memiliki kemampuan untuk mengendalikan alat kekerasaan (senjata).

Dalam hal ini, maka UU Peradilan Militer sangat dibutuhkan karena perlu penindakan atas kelompok yang memiliki karakter khusus dan tidak bisa disidangkan dengan mekanisme pengadilan umum. Pembedaan ini justru menjamin prinsip equality before the law atau persamaan di hadapan hukum. Prinsip ini baru bisa ditegakan dengan tegas jika adanya keterlibatan pihak TNI untuk menindak aparatnya sendiri.

Prinsip ini menyatakan bahwa semua individu, tanpa memandang latar belakang, status sosial, ras, agama, jenis kelamin, atau kekayaan harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Prinsip ini merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hukum yang adil dan demokratis. Hal ini menegaskan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk akses ke pengadilan, proses hukum yang adil, dan perlakuan setara dari lembaga-lembaga hukum. Ini berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum.

Kesetaraan di depan hukum juga berarti bahwa hukum harus diterapkan secara konsisten dan tanpa pandang bulu, sehingga tidak ada individu atau kelompok yang diuntungkan dengan berlakunya berbagai pengaturan yang mampu melindungi dirinya. Prinsip ini menjadi fondasi penting dalam mendorong keadilan, khususnya penegakkan korupsi yang telah menjadi penyakit kronis di Indonesia. Kedua, koneksitas juga dibutuhkan dalam upaya pendalaman dan keahlian penanganan perkara. Misalnya dalam kasus ini, model-model dan perkembangan korupsi telah memiliki berbagai variasi dan cara.

Hal ini membutuhkan para penyidik maupun penyelidik yang dapat mencari barang bukti sesuai dengan keahlian khusus yang dimiliki. Oleh karenanya, idealnya dibutuhkan penyidik, penyelidik, dan hakim yang ahli terkait tindak pidana khusus sebagaimana kasus yang terjadi saat ini.

Sejumlah perdebatan dan keraguan publik mencuat atas lemahnya kemampuan koneksitas sebagai unsur yang memperlambat penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi. Tidak sedikit, bahkan yang menyayangkan pemohonan maaf KPK tersebut. Hal ini dikarenakan objek tindak pidananya memang bukan merupakan pelanggaran kemiliteran, namun perkara umum.

Selain itu, kedudukan dalam struktur Basarnas juga merupakan jabatan sipil, bukan jabatan militer. Hal ini juga disiratkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Oleh karenanya, publik masih terus bertanya-tanya mengenai penyelesaian kasus korupsi yang melibatkan TNI aktif ini.

Di satu sisi, UU Peradilan Militer merupakan lex specialis dari UU Pidana pada umumnya. Namun, UU Korupsi juga merupakan lex specialis dari UU Pidana pada umumnya. Keduanya memiliki posisi tersendiri yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai kewenangan dan prosedur penyelesaian tindak pidana tersebut.

Keberadaan tim koneksitas diharapkan mampu memberikan percepatan dalam penanganan OTT Korupsi ini. Publik tentu akan sangat kecewa manakala tim koneksitas justru memperlambat atau bahkan mengurangi derajat kesalahan atau aspek materil yang sebenarnya sudah terjadi. Kekhawatiran publik ini sebenarnya sangat relevan disebabkan adanya kultur ego sektoral yang sudah lazim terjadi di berbagai institusi negara di Indonesia.

Impunitas Lebih jauh, kekhawatiran bahwa penggunaan tim koneksitas dan pengadilan militer untuk menyidangkan kasus korupsi pejabat Basarnas akan memberikan impunitas bagi pelakunya yang merupakan anggota TNI Aktif. Hal ini dikarenakan sebagai anggota TNI Aktif dengan jabatan yang cukup tinggi tentu memiliki pengaruh struktural maupun kultural terhadap instansi maupun personel lembaga. Impunitas adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “ketidakberhukuman” atau “kebebasan dari hukuman.” Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang atau kelompok tidak menghadapi konsekuensi atau hukuman atas tindakan yang dilakukan, terutama jika tindakan tersebut melanggar hukum atau norma-norma sosial. Impunitas bukan berarti harus dilakukan secara terang-terangan. Bisa saja, dalam banyak literatur ditemukan praktik impunitas, misalnya, dengan kurangnya bukti dan keengganan untuk menyelesaikan kasus dalam jangka waktu tertentu.

Impunitas dapat menyebabkan ketidakadilan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, penanganan kasus dengan adil dan pemberlakuan hukuman yang tepat sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik bagi TNI yang merupakan salah satu aparatur kemanaan pertahanan negara.

Realitas kompleksitas penyidikan, yang terjadi karena adanya dua undang-undang yang merupakan lex specialis dari pengaturan pidana pada umumnya, tidak boleh menjadi dasar untuk melemahkan tindak pidana korupsi ini. Apalagi bila terdapat tukar menukar pengaruh (barter of influence) ataupun bias yang bisa saja terjadi di tengah kekuasaan dua lembaga yang sangat besar, yakni TNI dan KPK. Di tengah kepercayaan publik yang cukup menurun pada KPK, kasus tertangkapnya pejabat Basarnas yang merupakan TNI aktif merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan kepercayaan publik.

Hal ini dikarenakan kepercayaan publik kepada hukum adalah salah satu pilar utama dalam menjaga kestabilan dan efektivitas sistem hukum dalam suatu negara. Kepercayaan publik merupakan dasar legitimasi bagi sistem hukum. Jika masyarakat secara luas percaya bahwa hukum dan lembaga-lembaga peradilan adalah adil dan sah, maka keputusan hukum yang diambil dan kebijakan yang diberlakukan akan lebih diterima dan dihormati oleh masyarakat. Baik bagi institusi TNI maupun KPK, menjalankan penegakkan hukum dengan tegas dalam kasus ini akan memberikan kepercayaan publik bagi kedua lembaga tersebut.

Kepercayaan publik yang tinggi terhadap hukum mempertinggi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan-peraturan hukum. Ketika masyarakat percaya bahwa hukum adil dan bermanfaat, maka masyarakat akan lebih cenderung mematuhinya dengan sukarela, menghindari perilaku melanggar hukum, dan menghormati keputusan hukum.

Oleh karenanya, penting bagi KPK dan TNI melakukan pembuktian kepada masyarakat untuk menjaga dan memperkuat kepercayaan publik terhadap hukum. Transparansi, akuntabilitas, independensi lembaga peradilan, dan penerapan hukum yang adil dan konsisten merupakan faktor-faktor penting untuk menciptakan dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Kepercayaan publik akan muncul jika ternyata tentara mampu menghukum pelaku korupsi di instansinya. Di tengah lemahnya kepercayaan publik, penanganan perkara oleh TNI memberi harapan baru bahwa instansi-instansi ordinary efektif. Semoga kasus OTT pejabat Basarnas yang juga merupakan anggota TNI Aktif ini memberikan dampak positif pada kepercayaan publik, bukan saja bagi KPK maupun TNI, tetapi juga pada masa depan penegakan hukum di Indonesia. Wallahualam bishoab. ***