Butuh Komitmen Kuat dan Menjadi Tugas Bersama Menjaga Stabilitas Politik Jepang dan Pemilu 202

by
Diskusi dialektika demokrasi dengan tema 'Bersama Menjaga Stabilitas Politik di Tahun Politik' di media Center, Kompleks Parlemen, Senayan. (Foto: WIN)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Dalam menjaga stabilitas politik dan suhu yang sejuk sudah menjadi tugas dan kewajiban bersama semua pihak menjelang Pemilu 2024. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dan edukasi kepada masyarakat luas agar proses demokrasi berjalan baik serta bertanggungjawab.

Harapan itu mengemuka dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Bersama Menjaga Stabilitas Politik di Tahun Politik’ di media Center, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/6/2023).

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun menyampaikan prasyarat menuju pemilu yang kredibel itu harus terpenuhinya banyak hal. Antara lain jujur dan adil (jurdil), ada peserta yang kemudian terverifikasi dan sebagainya, ada sengketa yang diselesaikan dan semuanya melalui proses yang transparan.

“Inilah kalau menurut saya tugas kita bersama dalam kurang dari 280 hari lagi pemilu ini kita jalani. Kita jaga kondisivitas iklim politiknya sangat bagus. Ada dinamika itu wajar, koalisi belum terbentuk. Karena prosesnya memang masih dalam tahapan yang belum mengarah ke sana. Kita ikuti saja tetapi harus mengedukasi masyarakat dengan informasi-informasi yang benar, terukur dan kemudian terjaga kredibilitasnya,” ujar Misbakhun.

Senada, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan menjaga stabilitas politik menjelang pemilu secara bersama-sama adalah bicara demokrasi dalam konteks high politik atau bicara di tataran kebangsaan dan kenegaraan.

“Kita berbicara persoalan bagaimana memikirkan nasib bangsa dan negara, berbicara tentang Indonesia Emas 2045, karena negara ini milik kita bersama. Artinya negara ini milik bersama nggak bisa menjadi kepentingan sekelompok sebagian,” ucap Anggota Komisi VI DPR ini.

Oleh karena itu, bagi para kader parpol baik simpatisan, pendukung, pimpinan partaai, calon anggota legislatif (caleg) hingga calon presiden dan calon wakil presiden harus mendudukan kontestasi politik hanya sebagai kompetisi yang temporer, yang durasinya sebentar saja.

“Seperti kami di DPR, kalau mau masuk kepada pemilu, berkontestasinya nanti di masa setelah DCS sampai kepada pemilu, setelah itu ya biasa-biasa lagi,” imbuhnya.

Anggota DPR RI lainnya, Achmad Baidowi mengatakan upaya menjaga stabilitas itu harus diikat oleh sebuah komitmen.

“Kalau dari PPP dan beberapa partai lainnya, sudah punya komitmen bersama untuk menjaga stabilitas politik menjelang pemilu, karena pemilu bukan hanya sekali, dua kali dan kalau dari sisi parpol sudah siap dan juga menjaga kondusifitas,” ujar Baidowi, yang kini duduk di Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Yanuar Prihatin mengatakan ada 3 parameter untuk mengukur stabilitas politik berjalan baik.

Pertama adalah keamanan dan ketertiban. Yang kedua kebebasan dan ketiga kenyamanan. Keamanan adalah kondisi sosiologis, kebebasan adalah kondisi politisnya dan kenyamanan adalah kondisi psikologisnya.

Kondisi psikologis ini sangat ditentukan oleh kondisi sosiologis dan politisnya. Semakin tidak nyaman seseorang itu pertanda bahwa suasana keamanan dan suasana kebebasan sedang terganggu.

“Semakin nyaman seseorang, komunitas atau kelompok itu artinya kebebasan dan keamanan jauh lebih baik,” ujar Yanuar.

Karena itu, apabila 3 parameter itu terganggu maka diduga kuat memberikan potensi pada gangguan stabilitas keamanan, kebebasan dan kenyamanan.

“Faktor-faktor yang mendorong ini banyak, bisa dari atas bisa dari bawah bisa dari kanan Bisa dari kiri dan bisa Dari mana saja. Tetapi kalau mau disimpulkan kira-kira bentuknya sangat sederhana. Jika datang dari individu maka muncul dalam perilaku politik. Perilaku politik yang diduga bisa mengganggu keamanan, bisa mengganggu kebebasan dan bisa mengganggu kenyamanan,” kata Yanuar.

Apabila muncul dari elite. Maka gangguan bisa datang dari kebijakan yang dikeluarkan. Oleh kebijakan dari lembaga-lembaga negara yang bersinggungan langsung dengan wilayah politik.

“Jika ini terus dipaksakan maka turbulensi akan terjadi, ketika turbulensi terjadi maka ini akan berpotensi mengganggu stabilitas dan jika ini tidak terkendali dalam keadaan yang lebih lama dan lebih liar maka keadaan bisa lebih buruk lagi,” tegas Yanuar.

Pengamat Politik, Boni Hargens menekankan potensi dari bahaya provokasi yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan.

“Ini yang penting, karena kalau masyarakat diprovokasi. Potensi persoalannya sangat serius, apalagi Indonesia ada begitu banyak daerah dengan benih atau titik api yang cukup potensial menjadi ledakan konflik dan itu bahaya,” ingatnya.

Sementara itu, Peneliti Indikator Politik, Bawono mengatakan problem pemilu saat ini adalah banyak stakeholder yang terlibat, mulai dari penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, DKPP dan kemudian dari kandidatnya sendiri baik pimpinan partai dan capres-cawapres hingga simpatisan dan pendukung serta para caleg yang tersebar di pusat, DPRD provinsi hingga DPRD kabupaten dan kota.

Bawono mengatakan persoalan kini adalah ketika adu gagasan dan ide absen dalam kontestasi pemilu. Maka yang muncul adalah serangan terhadap pribadi dan sebagainya yang diisi dengan penuh kebencian. (Kds)