Oleh: Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPN Partai Gelora Indonesia)
DI SATU Sisi sebelumnya kita pesimis dengan betapa partai politik semakin kompak untuk menentang ide demokrasi. Apalagi jika sudah terkait dengan kesepakatan antara presiden dengan ketua umum partai politik.
Para wakil rakyat kita tidak nampak menjadi wakil rakyat dan jurubicara dari kepentingan publik, malah sebaliknya mereka kompak untuk mendukung apa yang datang dari Istana, dan mengabaikan kepentingan dasar dari demokrasi kita.
Tapi tiba tiba, terkait sistem Pemilu proporsional tertutup versus proporsional terbuka yang sedang akan diputuskan oleh Mahkamah Konsitusi (MK), mereka begitu kompak dan antusias melawan apabila MK memutuskan sistem tertutup yang akan sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi kita.
Mungkin saja karena ini masih terkait dengan kepentingan mereka, mengingat tidak semua anggota Dewan berada di nomor satu atau perasaan bahwa mereka sudah sangat populer dan cukup logistik untuk berperang secara terbuka melawan semua kandidat partai-partai, terutama partai baru yang ingin melawan kekuatan-kekuatan lama yang sudah bertahan dan tidak menunjukkan karya yang signifikan.
Seandainya sikap ini dilakukan jauh sebelum Pemilu, tentu akan menarik debatnya untuk mengingatkan para wakil rakyat kita bahwa berlawanan mereka kepada Mahkamah Konsitusi ini seharusnya betul-betul bersumber dari kesadaran bahwa prinsip kedaulatan rakyat itu terletak pada wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pencalonan partai politik.
Dan kemudian itu memiliki konsekuensi agar para wakil rakyat juga mengingatkan agar dominasi ruang belakang permainan partai politik dalam kekuasaan harus mulai dikurangi dan dihilangkan serta diserahkan permainan itu kepada para pemilik mandat dari rakyat yang langsung dipilih oleh rakyat bukan para pengurus yang tidak dipilih oleh rakyat dan sering memiliki agenda agenda yang tidak pernah dibuka kepada rakyat banyak.
Seandainya seandainya pemikiran para wakil rakyat tentang kedaulatan rakyat itu tegak sejak awal, maka mustahil kita menyaksikan di seluruh Indonesia satu koor keseragaman sikap tanpa perbedaan dalam menghadapi begitu banyak masalah masalah sosial.
Wakil rakyat harus berkaca dan mengajak diri bahwa selama ini mereka terlalu melayani kehendak partai politik dan pengurusnya daripada mau melayani kepentingan rakyat yang memilihnya.
Memang waktu sudah tak cukup lagi untuk mempersoalkan hal-hal yang substansial itu. Mudah-mudahan saja sistem Pemilu ke depan tetap terbuka agar rakyat kita bisa dorong untuk menggunakan hak pilih nya dalam menentukan wakil mereka langsung dan tidak disabotase oleh kepentingan partai politik.
Pemilu kali ini adalah Pemilu paling krusial, karena akan menentukan apakah ke depan Sentralisasi dan Oligarki akan semakin mengental atau memudar. ***