DIY Sangat Rawan Politik Identitas Menuju Pemilu 2024

by
Diskusi Refleksi Akhir 2022; Menuju Pemilu 2024 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Sejumlah narasumber yang hadir antara lain Kepala BIN DIY Brigjen Pol Andry Wibowo, Koordinator Aspidum Kejati DIY Budi Purwanto, Ketua PMII UIN Sunan Kalijaga Ahmad Jazuly serta Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Profesor Sahiron Syamsudin dan sejumlah pakar serta tokoh agama. (Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, YOGYAKARTA – Provinsi Daerah lstimewa Yogya (DIY) menjadi salah satu wilayah yang rawan terjadi praktik politik identitas jelang Pemilu 2024. Sinyalemen ini hasil analisa Badan Intelijen Negara (BIN) yang menilai politik identitas di DIY sangat rawan apalagi jika menyasar kelompok masyarakat dengan tingkat pengetahuan rendah atau minim literasi. Akademisi sebagai pihak yang memiliki basis intelektual di Yogya memiliki peran penting untuk mengedukasi masyarakat menuju 2024.

Isu ini dibahas dalam diskusi Refleksi Akhir 2022; Menuju Pemilu 2024 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (10/12/2022). Sejumlah narasumber yang hadir antara lain Kepala BIN DIY Brigjen Pol Andry Wibowo, Koordinator Aspidum Kejati DIY Budi Purwanto, Ketua PMII UIN Sunan Kalijaga Ahmad Jazuly serta Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Profesor Sahiron Syamsudin dan sejumlah pakar serta tokoh agama.

“Politik identitas ini sangat laku jadi bahan menuju 2024 dimana pun, termasuk Yogya, karena murah, biayanya murah, maka kami mengajak bergandengan dengan akademisi untuk bersama mengedukasi supaya tidak dalam perspektif kami tokoh agama saja,” kata kata pengasuh Pondok Pesantren Sunan Kalijaga Gesikan Bantul KH Beni Susanto di sela-sela diskusi tersebut.

Menurut Beny yang seharusnya dijual atau ditawarkan ke masyarakat oleh para elite politik adalah program yang memperkuat keIndonesiaan bukan politik identitas. Karena politik identitas sudah terbukti akan menimbulkan konflik.

“Termasuk proses pembangunan yang sudah ada dan akan seperti apa menyongsong Indonesia ke depan, itu yang dijual itu harusnya, bukan yang dijual yang dapat merusak tatanan kebangsaan,” ujarnya.

Pakar Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja Sri Wahyuni mengatakan salah satu upaya untuk mencegah politik identitas adalah memberikan edukasi ke masyarakat. Karena sasaran politik ini bisa terjadi pada beragam kelompok masyarakat. Melakukan diskusi menurutnya menjadi salah satu cara akademisi untuk mengikis potensi politik identitas. Sehingga masyarakat lebih objektif dalam menilai calon yang akan dipilih.

Doktor lulusan Hukum UII ini menilai kalangan akademisi sebagai intelektual tentu akan menggunakan data berbasis riset dalam menilai seorang calon. Soal baik dan buruk satu calon sudah ada standar ukuran akademiknya, sehingga politik identitas tak dipertimbangkan jika pemilik menggunakan pola pikir data berbasis riset.

“Jadi bukan saya siapa, memilih siapa dan sebagainya, tetapi bagaimana bisa memiliki kecerdasan tersendiri dalam memilih,” ujarnya.

Kepala BIN DIY Brigjen Pol Dr Andry Wibowo SIk tidak menampik bahwa DIY termasuk rawan politik identitas karena hal itu bisa terjadi di mana saja. Oleh karena itu pencegahan harus dilakukan dengan mengedukasi masyarakat yang dapat dilakukan kalangan intelektual, elite politik dan pihak yang duduk di struktur pemerintahan.

“Kalau pengalaman kami politik identitas sangat rawan, apalagi pada masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, kemampuan baca buku (literasi) yang rendah, ini repot,” katanya.

Pencerahan harus diberikan ke masyarakat bahwa politik merupakan kebutuhan dalam membangun negara. Serta menyadarkan apa yang harus dilakukan adalah melaksanakan demokrasi dan Pemilu agar dapat menjabarkan amanat konstitusi dan prinsip Pancasila dalam kehidupan. Sekaligus mampu menjawab tantangan kemajuan negara dan bangsa secara keseluruhan dalam menghadapi perkembangan global yang pesat.

“Sebagai bangsa suatu saat menjadi pemain inti dari tata kelola global secara keseluruhan ini yang harus kita pikir bersama untuk menjadikan bangsa lebih baik,” ujarnya. (nico k)