Gunakan Kekuasan DPR RI Sebagai Energi Positif Memajukan Bangsa

by
Pelantikan Anggota DPR RI Periode 2019-2024, (Foto: Istimewa)

Oleh: Andoes Simbolon

SALAH satu lembaga negara yang kerap mendapat sorotan adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Lembaga ini disorot karena urusan macam-macam, misalnya keterlibatan anggota dewan dalam perkara korupsi. Lembaga DPR RI juga dikritik karena dianggap masih berkinerja buruk tapi menerima gaji besar ditambah fasilitas berlimpah, uang kunjungan kerja di masa reses yang jumlahnya besar, di tambah kunjungan ke luar negeri dengan embel-embel studi banding, maupun urusan lainnya, seperti pengadaan gorden di rumah jabatan Anggota DPR RI, yang sempat heboh karena anggarannya demikian besar.

Tidak heran stigma buruk masih melekat pada DPR RI, muncul anggapan di tengah masyarakat Anggota DPR RI tidak sensitif alias tidak peka atas kesulitan hidup yang dialami masyarakat. DPR RI juga pernah dibuat malu karena ulah seorang Anggota Dewan yang kedapatan menonton film porno dari gadgetnya saat rapat di Senayan. Meski kasusnya cepat hilang, tetapi peristiwa tersebut sempat heboh dan menjadi bahan ejekan atau olokan masyarakat.

Tetapi, kasus-kasus korupsi oleh Anggota DPR RI bisa disebut paling banyak menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, Anggota DPR RI yang note bene pejabat negara harus berurusan dengan KPK karena indikasi kuat terlibat praktek suap menyuap atau sogok menyogok atas suatu aktivitas ‘bisnis’. Iya, suap atau sogok menyogok merupakan praktek korupsi dan diketahui sebagai perbuatan terlarang dan melanggar hukum.

Pada hal, perbuatan tindak pidana korupsi tegas diatur dalam UU Tipikor. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dibentuk tahun 2002, yang maksud dan tujuannya untuk memberantas korupsi di Indonesia, sudah tak terhitung jumlah wakil rakyat yang akhirnya dijebloskan ke penjara karena terbukti melakukan perbuatan tercela itu. Mungkin jumlahnya mencapai ratusan orang.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari tahun 2010-2019, sedikitnya ada 586 Anggota DPR RI ditambah Anggota DPRD ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Sebelumnya tahun 2018 –catatan ICW, sebanyak 127 Anggota DPR RI dan DPRD tersangkut kasus serupa. Ini artinya, DPR RI sejak di masa Era Reformasi ada saja Anggota Dewan berurusan dengan KPK hingga mereka ditetapkan tersangka dan di ganjar hukuman kurungan bertahun-tahun. Ironis memang.

Ironisnya lagi, mereka itu berasal dari lintas fraksi, tidak hanya Anggota DPR RI dari fraksi tertentu saja, tapi hampir semua kader partai yang duduk di Senayan, pernah terjerat kasus korupsi. Tak hanya itu, Anggota DPR RI yang terjerat itu pun tidak dimonopoli laki-laki, Anggota DPR RI perempuan pun sudah ada yang harus masuk penjara.

Selain lintas fraksi, kasus korupsi tersebut juga melibatkan individu Anggota Dewan dari hampir semua Komisi. Anggota Komisi I, Komisi II, Komisi III, IV, Komisi V, Komisi VI, Komisi VII, dan Komisi XI, tercatat pernah tersandung kasus korupsi hingga mengantarkan mereka sebagai terpidana. Lebih ironis lagi, Pimpinan DPR RI pun sudah ada yang dipenjarakan karena terbukti berbuat korupsi, yaitu Taufiq Kurniawan dan Setya Novanto. Terakhir adalah mantan Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin. Ia divonis penjara selama 3,5 tahun karena terbukti memberi suap Rp3,6 Miliar kepada mantan penyidik KPK AKP Robin Pattuju dan Maskur Husain guna mengamankan dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi DAK APBN Lampung Tengah.2017.

Maka seperti kata pepatah, ‘gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga’, perbuatan Anggota DPR RI tersebut telah mencoreng wajah Lembaga DPR RI. Tak bisa dihindari, citra dan kehormatan DPR RI sebagai Lembaga Negara ikut rusak. Kepercayaan maupun kredibilitas masyarakat pada DPR RI pun merosot seperti yang terlihat dari hasil penelitian oleh sejumlah lembaga survei. Imbasnya, Anggota DPR RI yang baik dan bersih ikut kena getahnya. Toh, dari 575 Anggota Dewan, masih banyak di antara mereka yang memang benar-benar tegak lurus bekerja menjalankan tugas konstitusional nya.

Tindak pidana korupsi memang membahayakan suatu bangsa. Dalam sebuah kesempatan, Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengingatkan, korupsi dapat mengganggu suatu negara dalam mewujudkan tujuannya. Tak berhenti disitu, Firli pun menegaskan, korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena korupsi bukan hanya kejahatan yang merugikan uang negara, tetapi dapat berdampak pada seluruh program pembangunan, misalnya kualitas pendidikan menjadi rendah, kualitas bangunan menjadi rendah, mutu pendidikan jatuh serta kemiskinan tidak tertangani.

Lebih jauh Firli mengatakan, jika uang negara dikorupsi, maka program-program untuk mewujudkan tujuan negara tidak bisa berjalan dan mengakibatkan negara gagal. “Korupsi adalah kejahatan yang merampas hak rakyat, korupsi juga merampas hak asasi manusia, korupsi juga melawan kemanusiaan,” tegas Firli pada saat itu.

Apa yang disampaikan Ketua KPK tersebut diamini pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. Dikatakan Ujang, korupsi bukan kejahatan biasa, tetapi kejahatan luar biasa. Itu lah sebabnya korupsi sangat dibenci, sangat tidak disukai oleh masyarakat, karena masyarakat menjadi miskin sebagai imbas dari korupsi yang dilakukan oleh oknum Anggota DPR RI dan koruptor lainnya.

“Karena itu, korupsi yang menimpa anggota Dewan jelas merusak lembaga DPR, sehingga dari dulu sampai sekarang, DPR RI masih dicap lembaga paling korup,” tegas Ujang yang dihubungi belum lama ini.

Soal perilaku Anggota DPR yang korup ini, peneliti senior Forum Masyarakat Perduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus pun menyatakan, secara langsung atau tidak langsung, berdampak buruk di masyarakat. “Sudah tak diragukan sih setiap kasus korupsi yang melibatkan Anggota DPR RI pasti akan berdampak pada kian merosotnya citra dan kehormatan DPR RI,” kata Lucius yang dihubungi terpisah.

Dia merasa heran, karena dari periode ke periode selalu ada anggota DPR yang di tahan KPK. Yang memprihatinkan kata Lucius Karus, bahwa kemerosotan citra parlemen yang disebabkan oleh perilaku korup anggota tak juga membuat jera Anggota DPR RI lainnya. “Kasus korupsi secara konsisten masih saja terjadi walau belakangan DPR RI cukup jauh dari riuh penetapan tersangka karena kasus korupsi,” katanya lagi.

Sinyalemen Lucius Karus ini memang benar adanya. Soalnya, belakangan ini sudah tidak pernah lagi terdengar ada Anggota DPR RI yang berurusan dengan KPK. Hanya mantan Anggota Komisi VII DPR RI Alex Noerdin tercatat terakhir berurusan dengan penegak hukum, tetapi perkaranya ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kasus yang dialaminya pun terjadi ketika menjabat Gubernur Sumatera Selatan, yaitu dugaan korupsi pembangunan Masjid Sriwijaya dan pembelian gas bumi perusahaan daerah pertambangan dan energi. Setelah itu, kita sudah tak melihat atau mendengar Anggota Dewan keluar masuk dari Gedung Merah Putih memakai rompi oranye dengan tangan diborgol, lalu melambaikan tangan ke wartawan.

Mudah-mudahan saja ini pertanda baik, Anggota DPR RI menyadari bahwa perbuatan menerima uang suap dari pihak lain bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk dengan sumpah jabatannya. Dan mudah-mudahan juga Anggota DPR RI menyadari akan resiko perbuatan korupsi, seperti yang sudah dialami oleh Anggota DPR RI sebelumnya. Kasihan anak istri mereka, yang harus menahan malu karena bapaknya di vonis sebagai koruptor.

Sepatutnya, setiap Anggota DPR RI, menjaga marwah lembaga dimana mereka ‘bekerja’ dengan tidak terlibat bermain proyek sebagai fasilitator dengan menerima fee (komisi) dari pengusaha atau korporasi. Idealnya, mereka fokus saja kepada tupoksinya yang terhormat itu. Toh, negara telah mengimbali mereka para Anggota DPR RI dengan penghasilan atau uang kehormatan memadai setiap bulannya, ditambah sejumlah tunjangan.

Malu juga bangsa ini jika sering-sering wakil rakyatnya terlibat sebagai calo proyek yang dibiayai APBN seperti yang terjadi selama ini. Lebih malu lagi jika lembaga sekelas Transparansi Internasional Indonesia (TII) kembali membuat laporan berjudul DPR RI menjadi lembaga paling korup, seperti yang pernah di rilis tahun 2020. Sebutan lembaga paling korup ini sungguh memprihatinkan dan menyedihkan. Bagaimana tidak prihatin dan sedih, DPR RI yang cikal bakalnya dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) masih saja menuai kontroversi. Seperti diketahui, KNIP dibentuk pada tanggal 29 Agustus 1945 dan dijadikan sebagai tanggal dan hari lahir DPR RI.

Tetapi, suka tidak suka, senang tidak senang, di usianya ke 77 tahun ini, potret buram DPR RI masih menyertai perjalanannya, karena persepsi publik yang masih buruk tadi, seperti halnya di masa era Orde Baru, DPR RI dicap sebagai stempel pemerintah dan menguatnya istilah 3 D, yaitu Datang, Duduk dan Duit.

Kekuasaan yang Besar

Pada hal seperti di ketahui bersama, kedudukan lembaga DPR RI dalam sistem kenegaraan kita begitu strategis, karena ikut menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. UU tentang MD3 dan lebih khusus lagi Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib memberi ‘kekuasaan politik’ yang demikian besar kepada Lembaga DPR RI. Selain mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, DPR RI juga diberi wewenang dan tugas yang sama besarnya Disitu juga diatur bagaimana hak-hak dari DPR RI yang bersinggungan dengan Pemerintah.

Tidak berlebihan jika dikatakan, ekpektasi masyarakat kepada Lembaga DPR RI ini demikian besar, sebagaimana tersirat dalam sumpah atau janji mereka saat pertama kali dilantik, yaitu, akan memenuhi kewajibannya sebagai Anggota/Ketua/Wakil Ketua DPR RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD Negara 1945. Lanjutan dari sumpah atau janji itu dikatakan, Anggota DPR RI dalam menjalankan kewajiban akan bekerja sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan golongan.

Di HUT ke-77 DPR RI tahun ini, momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi dan refleksi menuju perubahan yang lebih baik. Memang seperti dikatakan mantan Anggota DPR RI Jakobus Kamarlo Mayong Padang, memperbaiki citra DPR RI yang terlanjur buruk ini tidak mudah, walaupun bukan tidak mungkin.

“Kenapa? Hal itu tergantung terutama dari pimpinan partai politik, karena merekalah yang merekrut para calon Anggota DPR RI untuk dipilih pada setiap pemilu. Para pemimpin partai politik bukan hanya bertanggungjawab, melainkan terpanggil untuk memperbaiki keadaan bangsa,” imbuh Jakobus.

Pria yang akrab disapa Kobu berpendapat, jika para pendiri dan pejuang bangsa ini terpanggil mempertahankan bangsa dengan pengorbanan yang luar biasa,maka harapannya adalah kepada elit politik saat ini, hendaknya terpanggil untuk memperbaiki keadaan.

“Salah satu caranya; menyeleksi secara cermat para calon legislatif yang akan ditawarkan kepada pemilih. Prasyaratnya jangan hanya mengutamakan keintelektualan dan keterpilihan tetapi yang utama karakter,” imbuhnya.

Kobu mengingatkan, Bung Karno salah satu proklamator di awal berdirinya bangsa ini mengedepankan pembangunan karakter. Hanya disayangkan, belakangan hal itu tidak diseriusi dan karena itu jangan heran kalau KKN penyakit yang merusak bangsa ini di masa rezim Soeharto justru sekarang tumbuh subur termasuk di DPR RI. Padahal DPR RI adalah orang-orang pilihan, karena itu harus memiliki karakter yang baik.

Kobu menyarankan, untuk ke depan para pemimpin partai harus benar-benar mempersiapkan calon yang berkarakter baik sehingga kita bisa berharap tak akan ada lagi cibiran terhadap DPR RI.

Apa yang disampaikan Kobu cukup beralasan. Dengan kata lain, bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh Lembaga DPR RI sejatinya tidak diselewengkan, disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh Anggota Dewan untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun untuk kepentingan golongan misalnya dengan cara korupsi. Harus menjadi ikhtiar bersama bahwa kekuasaan politik tersebut hendaknya menjadi energi positif memajukan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Semoga. Dirgahayu Ke 77 DPR RI. ***