Mengenang Aberson, Konsisten Dengan Pancasila dan UUD 1945

by
Aberson Marle Sihaloho. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Nasib mendiang Aberson Marle Sihaloho tidak baik paska tragedi 27 Juli 1996. Ia diperiksa berkali-kali di Polda Metro Jaya dan di Kejaksaan Agung, hingga ditetapkan sebagai terdakwa. Tidak tanggung-tanggung, Jaksa menjerat Aberson karena tuduhan menyerang kehormatan atau nama baik Presiden Soeharto, ABRI dan Lembaga MPR/DPR RI.

Aberson adalah salah satu pendukung setia Megawati Soekarnoputri yang pernah tampil berpidato di acara mimbar demokrasi atau mimbar bebas di halaman Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro No.58 Jakarta Pusat. Pada saat pidatonya itu lah Aberson disebut melakukan penyerangan kepada Presiden Soeharto, kepada ABRI dan ke Lembaga MPR/DPR RI.

Mimbar bebas itu sengaja dibuat setelah terjadi bentrokan antara pendukung Megawati dan aparat keamanan di depan stasiun KA Gambir, Jakarta Pusat. Ketika itu, massa pendukung dan simpatisan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 turun ke jalan menentang rencana kongres yang digelar PDI kubu Fatimah Achmad.

Mereka menolak kongres karena dianggap hanya akal-akalan untuk menyingkirkan Megawati. Kongres sebagai konspirasi politik antara elit PDI penentang Megawati dengan oknum penguasa Orde Baru (Orba).
Rencana ke Kantor Menteri Dalam Negeri gagal setelah rombongan pendukung Megawati dihadang aparat keamanan, hingga terjadi bentrokan yang memakan korban luka-luka pendukung Megawati.

Sejak saat itu lah aparat keamanan melarang turun ke jalan berunjukrasa. Mereka boleh berunjuk rasa, tapi hanya di halaman kantor DPP PDI yang dikuasai kubu Megawati. Sejak itu juga dibuat sebuah panggung sebagai tempat ‘menyalurkan’ aspirasi pendukung Megawati.

Panggung mimbar demokrasi itu menarik perhatian, tidak saja bagi pendukung Megawati, tetapi juga masyarakat yang datang ke kantor DPP PDI. Mereka yang tampil berpidato atau berorasi pun tidak hanya tokoh-tokoh PDI, tetapi juga simpatisan Megawati. Inti dari semua isi pidato orator adalah menolak cara penguasa mengatasi kemelut di tubuh PDI yang sudah terbelah dua kubu.

Di minggu ke dua bulan Juli itu lah Aberson diberi kesempatan berpidato. Pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, kelahiran 4 November 1938 ini memang pintar berpidato. Maklum, sebelum menjadi Anggota DPR RI, dia adalah aktivis mahasiswa yang aktif di GMNI dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1966, seangkatan dengan Marie Muhammad, Soegeng Sarjadi, Budi Hardjono, atau Soerjadi.

Ketika masih usia muda, Aberson diangkat sebagai Anggota MPR S dan aktif di Badan Pekerjanya. Karirnya pun bertambah setelah ikut diangkat sebagai pengurus DPP Partai Nasional Indonesia (PNI).

Aberson yang fasih berbahasa Inggris, bahasa Jawa dan bahasa Simalungun ini pun dikenal seorang politisi yang humoris, dan suka melucu. Tak heran, di kalangan politisi pada masa itu, sosok Aberson banyak disukai. Temannya main tenis pun dari Golkar dan PPP.

Tak hanya itu, Aberson pun politisi yang hobi dengan tarik suara. Di rumahnya, kawasan Kramat Raya, pria yang ber Lae musisi Jazz Bill Saragih ini ada piano yang dia pakai sebagai selingan untuk menghibur dirinya.

Aberson pun akrab dengan wartawan. Ia sering dimintai komentar atau pendapat atas suatu kebijakan pemerintah khususnya terkait ekonomi maupun soal politik. Semasa ruangan kerjanya di gedung Nusantara III dan di Nusantara I, wartawan kerap bertandang ke sana, entah untuk ngobrol dan berdiskusi, atau untuk urusan wawancara.

Jangan tanya soal UUD 1945 kepada Aberson. Dengan luar kepala dia bisa menyampaikan pasal demi pasal isi konstitusi ini. Aberson begitu paham dan menghayati sedemikian dalam akan UUD 1945. Dia memang punya obsesi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Buktinya, pledoinya yang disampaikan di PN Jakarta Pusat, Senin, 16 Juni 1997 pun diberi judul ‘Kedaulatan Rakyat Atau Demokrasi Berdasarkan UUD 1945 Menggugat’.

Patut dicatat, Aberson lah pertama kali menggulirkan pencalonan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI.
Lengsernya Soeharto sebagai Presiden RI di bulan Mei 1998 ikut ‘menyelamatkan’ hidupnya. Kasus yang menimpa dirinya itu tidak sampai mengantarkan dirinya sebagai seorang tahanan. Seperti halnya dengan tahanan politik lainnya, Presiden BJ Habibie membuat kebijakan reformasi dengan membebaskan para tapol yang dipenjarakan pada era Presiden Soeharto.

Sebelum meninggal dunia pada 12 Oktober 2004, karena menderita sakit gangguan pada saluran pencernaan air besar, mendiang Aberson masih sempat menjadi Anggota DPR RI dari PDI P hasil Pemilu 1999. Pemilu 2004 masih dicoba lagi maju ke Senayan, tetapi untuk kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan DKI Jakarta, namun sayang suaranya tidak mencukupi untuk mengantarkannya sebagai seorang Senator. (Asim)