Candu Game Online Jadi Tantangan Baru Bagi Keluarga di Era Digital

by
Kemenkominfo berkolaborasi dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi bertajuk "Tantangan Keluarga di Era Digital," secara virtual. (Foto: Dokumentasi)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Saat ini, di era digital, keluarga dihadapkan beberapa tantangan baru, khususnya anak-anak. Era digital ini membuat anak-anak sangat banyak kencaduan game online.

Dosen Senior Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM, Bevaola Kusumasari menjelaskan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan kecanduan game online atau game disorder ke dalam versi terbaru International Statistical Classification of Diseases (ICD), yaitu penyakit gangguan mental (mental disorder).

“Kecanduan game merupakan disorders due to addictive behavior atau gangguan yang disebabkan oleh kebiasaan atau kecanduan,” kata Bevaola dalam diskusi diskusi #MakinCakapDigital, Kemenkominfo berkolaborasi dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi bertajuk “Tantangan Keluarga di Era Digital,” secara virtual, Kamis (21/7/2022).

Bevaola menguraikan tentang kriteria gaming disorder tersebut. Diantaranya, ada ganguan kontrol untuk melakukan permainan tersebut (tidak dapat mengendalikan diri), lebih memprioritaskan memainkan game dibandingkan dengan aktivitas yang seharusnya lebih diutamakan.

“Intensitasnya semakin meningkat dan berkelanjutan meskipun ada konsekuensi atau dampak negatif yang dirasakan,” tuturnya.

Dampak dari kencanduan game online ini, lanjut Bevaola, bisa menyebabkan gangguan yang bermakna pada fungsi pribadi, keluarga, sosial, pendidikan.

Gejala lain yang perlu diwaspadai ialah bermain game terlalu lama, melewatkan waktu mandi dan makan hanya untuk main game.

“Kinerja baik di kantor maupun sekolah jadi buruk. Bohong pada orang lain untuk menyembunyikan aktivitas game. Munculnya tanda-tanda iritasi bingung, cemas, mudah marah, dan lain sebagainya, saat dipaksa berhenti main game,” kata Bevaola.

Menurut Bevaola, seseorang yang mengalami adiksi, di samping mengalami keluhan secara fisik, juga mengalami perubahan struktur dan fungsi otak. Adanya perubahan otak membuat dirinya sulit mengendalikan perilaku impulsive.

“Sudah bosan main (game) tapi tidak bisa berhenti. Karena fungsi otaknya sudah berubah, yaitu untuk menahan perilaku untuk tidak impulsive itu sudah terganggu,” ujarnya.

Dampak yang lebih parah orang yang kecanduan video/game online adalah kehilangan fokus saat mengerjakan sesuatu. Sehingga berdampak pada prestasi dan produktivitasnya.

“Emosi yang tidak stabil juga seringkali berdampak buruk pada hubungan relasinya. Sehingga sebagian besar para pecandu video/game online menunjukkan sikap yang anti-sosial,” kata Bevaola mengingatkan.

Tak lupa, Bevaola memberikan beberapa masukan untuk mengatasi kencauan game online tersebut. Yaitu, mengakui jika memang kecanduan terhadap game online, mengubah pola pikir dengan cara mulai serius memikirkan apa yang menjadi tujuan jangka panjang.

Lalu, membatasi waktu bermain, membatasi pemasangan game pada gadget, mencoba hobi baru lainnya. Selanjutnya, melakukan terapi.

“Tidak hanya psikiater, tapi juga ada psikiater adiksi, psikiater anak dan remaja, rehabilitasi medik, sampai terapis akupuntur karena ternyata terapi akupuntur itu bisa mengurangi craving games,” kata Bevaola.

Sementara itu, Peneliti & Aktivis Literasi Muhammad Basiq El Fuadi mengatakan, bergulirnya informasi di era media sosial semakin cepat dan mudah, menjadi tantangan bagi keluarga. Sebab, hampir setiap hari tidak bisa lepas dari dunia ponsel dan gawai lainnya.

“Harus ada kontrol yang baik dari dalam (keluarga) sebagai orang tua, anak, saudara,” kata Basiq.

Basiq menyatakan, persiapan dan upaya antisipasi keluarga perlu dilakukan. Seperti, memilah dan membatasi kelebihan informasi, untuk menghindari berita bohong, ujaran kebencian, menyinggung SARA.

“Berbagi Informasi yang bermanfaat serta berhati-hati dalam menyampaikan informasi, jangan mudah terpancing berita, perlunya di cek kebenarannya dulu.
Keluarga (orangtua, anak, saudara) terlalu sering menggunakan Dunia maya, picu perilaku anti sosial,” ungkap Basiq.

Kepala Pusat Studi Keluarga dan Kesejahteraan Sosial Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Saeroni, mengingatkan akan keamanan data pribadi dalam upaya melindungi keluarga. Cara melindunginya, gunakan password (sandi) yang kuat.

Kemudian, gunakan secara berbeda di setiap akun platform digital yang dimiliki dan perbaharui secara berkala. Pahami dan pastikan pengaturan privasi di setiap platform digital sesuai dengan tingkat keamanan yang dibutuhkan.

“Hati-hati mengunggah data pribadi di platform digital, karena keamanan data pribadi kita tidak selalu terjamin
Hindari berbagi data orang lain, baik keluarga, teman, maupun kenalan di dunia maya. Sebab data mereka adalah privasi mereka,” kata Sahroni. (Kds)

Catatan:

Informasi lebih lanjut dan acara literasi digital GNLD Siberkreasi dan #MakinCakapDigital lainnya, dapat mengunjungi info.literasidigital.id dan mengikuti @siberkreasi di sosial media.