Partai Gelora Terima Putusan MK, Meski Prematur dan Membingungkan

by
Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Anis Matta bersama Sekjen Mahfuz Sidik. (Foto: Humas Partai Gelora)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua Umum DPN Partai Gelombanng Rakyat (Gelora) Anis Matta menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi atau judicial review UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan partainya mengenai keserentakan Pemilu, meskipun putusan tersebut dinilai membingungkan.

“Kami menghormati putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan Partai Gelora untuk memisahkan pemilu legislatif dan pilpres. Kami juga tengah mempelajari kemungkinan untuk mengajukan kembali gugatan pemisahan Pileg dan pemilihan Pilpres ke MK dalam waktu dekat,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Jumat (8/7/2022).

Masih soal putusan MK, menurut Anis Matta, penolakan atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan, dan bahkan sangat merugikan Partai Gelora sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara. Gugatan yang diajukan Partai Gelora, lanjut dia, pada prinsipnya ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kedaluwarsa.

“Gugatan ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0%,” ujarnya seraya menambahkan, kalau gugatan Partai Gelora juga bertujuan memberi peluang bagi lahirnya pemimpin baru di tengah krisis berlarut saat ini.

Belum Terpenuhi Syarat

Hal senada disampaikan Koordinator Kuasa Hukum Partai Gelora Said Salahudin yang juga menilai gugatan Partai Gelora tidak dibantah oleh Mahkamah, tapi ditolak dalam putusannya. Sehingga alasan ditolak menurut Mahkamah, karena belum terpenuhi syarat keadaan mendesak lebih bersifat politik, bukan alasan hukum

“Legal standing’ kami diterima. Pokok permohonan dinyatakan jelas (tidak kabur). Tidak ‘nebis in idem’. Dalil dan argumentasi dalam permohoan kami tidak ada yang dibantah. Tetapi MK menyatakan permohonan ditolak,” katanya.

Menurut Said, dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-XX/2022 tentang pengujian “Pemilu Serentak” yang diajukan Partai Gelora, sudah jelas Mahkamah menyatakan Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. Artinya, konstruksi subjek hukum pemohon dan kerugian konstitusional yang dibangun oleh Partai Gelora didalam permohonan diterima sepenuhnya oleh MK.

“Jadi Walaupun norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur mengenai Pemilu Serentak sebelumnya pernah diuji beberapa kali oleh pemohon lain, tetapi MK tegas menyatakan bahwa batu uji dan alasan konstitusional yang didalilkan Partai Gelora sangat berbeda sehingga permohonan pemohon diterima dan tidak dinyatakan ‘nebis in idem’,” jelasnya.

Lebih dari itu, kata Said, tidak ada satu pun dalil, argumentasi hukum, serta alat bukti yang diajukan oleh Partai Gelora dimentahkan oleh MK. Soal argumentasi ‘original intent’ Pemilu Serentak yang didalilkan oleh pemohon tidak sesuai fakta ketika UUD 1945 diamendemen, misalnya, juga sama sekali tidak dibantah oleh MK.

“Tentang dalil pemohon bahwa Pemilu Serentak yang menggabungkan Pileg dan Pilpres tidak efektif dalam penguatan sistem presidensial juga tidak dibantah MK,” katanya.

Sehingga secara tidak langsung MK mengakui bahwa berkaca dari hasil Pemilu 2019, tujuan dari Pemilu Serentak yang dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial ternyata memang tidak terbukti

“Masalahnya kemudian, pada ujungnya MK menyatakan permohonan ditolak. Ini jadi kebingungan kami yang pertama. Semua dalil dan argumentasi tidak dibantah, tetapi permohonan dinyatakan ditolak,” papar Said.

Kebingungan yang kedua, lanjut Said, muncul ketika MK berpandangan belum memiliki alasan yang kuat, karena belum melihat ada kondisi yang secara fundamental berbeda bagi MK untuk menggeser pandangannya memisahkan kembali pelaksanaan Pileg dan Pilpres.

Namun, persoalannya, dalam putusan itu MK sama sekali tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “kondisi yang secara fundamental berbeda”. Mestinya hal itu diuraikan. Sehingga harus jelas parameternya seperti apa.

“Kami melihat dalam memutus perkara ini, MK prematur membuat kesimpulan. Sebab, tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Partai Gelora untuk menghadirkan Saksi dan Ahli, para Hakim Konstitusi sudah langsung memutus perkara,” katanya.

“Padahal, jika kami diberi kesempatan menghadirkan Saksi dan Ahli, boleh jadi kondisi yang secara fundamental berbeda sebagaimana dimaksudkan oleh MK akan dapat terjawab,” katanya.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang dimohonkan oleh Partai Gelora soal pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Kamis (7/7/2022) pagi.

Dalam gugatan Nomor: 35/PUU-XX/2022 yang diajukan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta dan Sekretaris Jenderal Mahfuz Sidik itu, Mahkamah menilai pokok permohonan yang diajukan Partai Gelora tidak beralasan, menurut hukum.

Hakim Konstitusi memutuskan bahwa frasa serentak dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat 1 UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional.

“Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya isu pokok yang berkaitan dengan frasa serentak sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra. (Ery)