Sepak Bola Itu Peradaban

by
Timnas U-23 Garuda Muda. (Foto: PSSI)

HARAPAN memperoleh medali emas cabang olah raga sepak bola pada pesta olah raga Asia Tenggara 2022 di Vietnam pupus setelah kesebelasan Indonesia dikalahkan oleh kesebelasan Thailand 0-1 pada babak semi final.

Kegagalan pada pesta olah raga ini melanjutkan kegagalan kegagalan sebelumnya meskipun secara silih berganti pergantian pelatih kepala ( head coach ) dari mulai pelatih lokal , Asia maupun Eropa.

Selain pergantian pelatih kepala yang berasal dari dalam dan luar negeri dengan catatan latar belakang prestasi masing masing seperti Shin Tae Yong yang pernah membawa kejayaan kesebelasan Korea Selatan mengalahkan kesebelasan Jerman pada perhelatan kejuaran piala dunia di Jepang dan Korsel beberapa waktu lalu, namun magis dan prestasi Shin Tae Yong plus rekruitment pemain naturalisasi pada kenyataannya belum bisa secara otomatis mengangkat prestasi kesebelasan Indonesia menjadi yang terkuat minimal di wilayah ASEAN.

Sebagai olah raga sangat popular di Indonesia yang memiliki jumlah populasi 270 jutaan, kegagalan demi kegagalan meraih prestasi di level ASEAN menimbulkan pertanyaan bagi banyak pihak , mengapa ( why ) kegagalan demi kegagalan itu terjadi , sesulit itukah memilih 11-24 pemain sepak bola yang bisa mengangkat derajat dan kehormatan negara dan bangsa melalui prestasi internasional.

Bandingkan dengan beberapa negara dengan populasi kecil di dunia atau di ASEAN misalnya dengan Vietnam atau Thailand yang merajai prestasi cabang olah raga sepak bola beberapa waktu belakangan atau Jepang dan Korea Selatan yang dalam era 2000 an telah menjadi bagian dari kekuatan sepak bola ASIA di level dunia termasuk melahirkan pemain pemain dunia yang bermain pada level utama kompetisi antar klub Eropa.

Tentunya tidak mudah mencari jawaban yang tepat atas persoalan stagnasi prestasi persepakbolaan nasional , namun dari sisi model evolusi peradaban , prestasi sepak bola yang dicapai oleh negara negara yang mendominasi persepakbolaan dunia , lahir dari proses pembangunan sistem persepakbolan nasional yang mengikuti paradigma pertumbuhan.

Paradigma pertumbuhan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pendekatan evolutif yang mengikuti rumusan tahap tahap pembangunan prestasi sepak bola yang berkelanjutan dari usia dini sampai dengan usia matang melalui metode yang tepat dan mampu menghasilkan sistem persepakbolaan nasional yang berkualitas dan kompetitif.

Sistem persepakbolaan nasional yang berkualitas dan kompetitif yang lahir dari pendekatan pertumbuhan pada akhirnya tidak saja menghasilkan tim juara semata tetapi juga peradaban sepabola yang menyangkut budaya perilaku manusia yang berkecimpung di dunia sepak bola apakah sebagai pemain, pelatih, organisatoris, industriawan , suporter ataupun sekedar masyarakat umum sebagai penikmat pertandingan sepak bola.

Untuk menuju ke sana , tentunya kegagalan mencapai prestasi persepakbolaan nasional harus menjadi bahan evaluasi secara sistemik. Evaluasi mendasar tentunya merubah cara berpikir instan dan pragmatis dengan hadirnya “ dewa keberuntungan” yang menyulap stagnasi prestasi melompat menghadirkan gelimang prestasi secara ajaib.

Suka tidak suka sepak bola adalah salah satu wajah peradaban suatu bangsa , lihat saja bangsa bangsa yang maju sepak bolanya umumnya linear dengan prestasi bangsanya di bidang bidang yang lainnya .

Sekali lagi sepak bola adalah peradaban , untuk mewujukan sepakbola nasional yang berkualitas dan kompetitif satu satunya jalan kita harus mampu membangun road map sepak bola nasional yang mengikuti prinisp pertumbuhan untuk mewujudkan kesebelasan Indonesia yang juara di masa datang.

Yogyakarta , Mei 2022

*Dr Andry Wibowo Sik MH Msi* – (Mantan Pasukan PBB Di Bosnia,Peneliti Konflik Identitas antara Jack Mania Persija Jakarta dengan Viking Persib Bandung)