Warning Said Didu, Indonesia Akan Hadapi Jurang Fiskal dan Ekonomi yang Berat di 2023

by
Said Didu, eks Sekretaris BUMN.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Bekas Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu mengingatkan kalau pemerintah akan menghadapi ancaman jurang fiskal dan ekonomi pada 2023 mendatang. Karena pemerintah saat ini tidak memiliki uang, sementara jumlah utang, serta beban bunga utang terus meningkat.

“Jadi sebenarnya, ada benarnya juga apa kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa titik kritis dan paling berat adalah pada 2023. Tahun 2023 itu, jurang sangat berbahaya bagi fiskal kita,” kata Said Didu berbicara dalam Gelora Talk bertajuk ‘Polemik JHT, Kemana Dananya?’, Rabu (23/2/2022) petang.

Diskusi ini juga menghadirkan Menteri Keuangan tahun 1998, Fuad Bawazier dan Ketua Umum KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Jumhur Hidayat. Sementara Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik memberikan pengantar diskusi.

Melanjutkan pernyataannya, Said Didu menegaskan bahwa ancaman fiskal dan ekonomi pada 2023 bagi Indonesia sangat nyata. Ia menjelaskan, dalam Perppu No.1 Tahun 2020, pemerintah hanya diizinkan menaikkan fiskal 3 persen, tapi faktanya sampai 6 persen.

“Jika publik ingin paham, kalau defisit fiskal sesuai UU 3 persen, maka pemerintah boleh menambah utang Rp 500 triliun dari PDB, dimana PDB diperkirkan sekitar Rp 1.700-1.800. Tapi utang sekarang mencapai Rp 1000 triliun,” ujarnya.

Sementara pendapatan negara pada 2022 ini diperkirakan Rp1.800-1.900 Triliun. Artinya, uang masuk sekitar Rp2.300- 2.400 Triliun, maksimun Rp2.500 Triliun pada 2023. Sedangkan belanja sekarang sudah mencapai Rp2.800-2900 Triliun, jika ditambah anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), maka pengeluaran menjadi Rp3.000 Triliun.

“Artinya, pemerintah terpaksa belanja hanya Rp2.500 Triliun yang dibolehkan di 2023. Sementara pengeluaran untuk bunga dan utang saja, perkiraan saya Rp900-1.000 Triliun pada 2023. Berarti yang tersisa Rp1.100-1.200 Triliun. Untuk bayar gaji dan lain-lain Rp800 Triliun, untuk transfer ke daerah Rp200 Triliun total jadi Rp1.000 Triliun. Jadi uang yang tersisa hanya Rp200 Triliun, sementara pemeliharaan jalan dan subsidi pupuk Rp400 Triliun,” ungkapnya.

Karena itu, Said Didu menduga soal kebijakan pengambilan dana Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia 56 ada kaitannya dengan kondisi keuangan pemerintah tersebut, karena dana JHT ditempatkan di Surat Utang Negara (JHT).

“Kenapa 56 tahun, sepertinya BP Jamsostek membeli SUN yang periodenya panjang, karena kalau ditarik di depan pemerintah akan kewalahan,” katanya.

Perlu diketahui, kata Said Didu, SUN ini tidak laku dijual, tidak ada masyarakat dan asing yang membeli. SUN sebagian besar dibeli Bank Indonesia (BI) dan bank-bank Indonesia dengan nilai mencapai Rp 1.300. Hal ini sudah diingatkan Internasional Monetary Fund (IMF) agar BI tidak membeli SUN di pasar domestik.

“Saya juga menduga betul, penggunaan BPJS Kesehatan untuk pengurusan macam-macam ada kesulitanya dengan dana pemerintah. Sebab, harus menyedot uang sebesar-besarnya yang ada di masyarakat agar menutupi kesulitan fiskal yang dihadapi,” tegasnya.

Jika uang JHT ditahan, dan bunganya ditanggung, karena SUN itu diterbitkan pemerintah dan bunganya dibayar pemerintah. Tetapi apakah manfaat bunganya linear untuk para pekerja? demikian Said Didu mempertanyakan. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.