Kepada BEM Nusantara, LaNyalla Sebut Mendesak UU Khusus untuk Perkuat DPD RI

by
LaNyalla saat memberikan orasi politik secara virtual di Seminar Nasional dalam rangka Pra Temu BEM Nusantara ke-XIII di Universitas Negeri Gorontalo, Selasa (14/12/2021). (Foto: Humas DPD)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai salah satu solusi untuk memperkuat peran dan fungsi lembaga yang dipimpinnya adalah melalui Undang-Undang khusus, seperti amanat Konstitusi Pasal 22C. Penilaian itu disampaikan LaNyalla saat memberikan orasi politik secara virtual di Seminar Nasional dalam rangka Pra Temu BEM Nusantara ke-XIII di Universitas Negeri Gorontalo, Selasa (14/12/2021).

“Untuk melakukan penguatan kelembagaan, harus secara konsisten melaksanakan perintah pasal 22C UUD 1945 hasil Amandemen, di mana keberadaan DPD RI harus diatur melalui Undang-Undang tersendiri, bukan digabung dalam Undang-Undang MD3,” katanya.

Menurut LaNyalla, hal itu sama seperti perintah kepada DPR RI agar diatur melalui Undang-Undang tersendiri. Begitu pula DPRD Peovinsi dan Kabupaten/Kota, yang seharusnya diatur dengan Undang-Undang tersendiri, bukan digabungkan di dalam Undang-Undang MD3.

Senator asal Jawa Timur itu mengakui tak mudah untuk membuat Undang-Undang tersendiri bagi DPD RI. Karena penentu akhir pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang adalah DPR RI dan pemerintah.

Mengapa hal itu penting dilakukan? LaNyalla memaparkan jika hal itu untuk memperkuat peran lembaganya sebagai sebuah sarana mekanisme double check di dalam lembaga legislatif.

Ia tak menampik jika DPD RI memang lahir sebagai wakil daerah, karena DPD RI sejatinya adalah jelmaan dari Utusan Daerah dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen di era reformasi silam.

“DPD RI hadir untuk memastikan seluruh kepentingan daerah dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih kuat dan luas, mengingat DPD RI merupakan representasi daerah atau regional,” ucapnya.

Tentu hal itu berbeda dengan DPR RI yang merupakan representasi politik. Sehingga secara ideal, DPD RI wajib mengakomodasi aspirasi daerah sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik.

“Utamanya, untuk hal-hal yang terutama berkaitan dengan kepentingan daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” jelasnya.

Hal lainnya, mengingat sistem pemerintahan desentralistik atau otonomi daerah yang kita anut adalah konsep partisipasi atau keikutsertaan daerah dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional.

Dengan paradigma seperti itu, peran DPD RI justru sangat strategis untuk menyinkronkan kepentingan daerah dengan kepentingan pusat.

Dengan begitu, DPD RI benar-benar menjadi sebuah sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis. Sehingga berbagai kepentingan dapat dipertimbangkan secara matang dan mendalam.

“Di sinilah diharapkan terjadi mekanisme checks and balances atau mekanisme double check antara DPR RI dan DPD RI,” tegas dia.

LaNyalla melanjutkan, jika ditanyakan mengapa perlu dilakukan mekanisme double check antara DPR RI dan DPD RI, jawabnya sederhana. Sebab, fungsi perwakilan yang ada di DPR RI sejatinya berbasis kepada ideologi partai politik. Sedangkan seorang Senator DPD RI bukankah orang yang mewakili suatu sekat kelompok atau platform partai, tetapi figur yang mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

“Sehingga, sejatinya para senator harus berpikir dan bertindak sebagai seorang negarawan yang berada di dalam cabang kekuasaan di wilayah legislatif. Sehingga secara ideal, DPD RI juga sudah seharusnya berada dalam tataran equal dengan DPR RI, termasuk dalam membentuk Undang-Undang,” papar LaNyalla.

Tetapi rupanya pada saat amandemen di tahun 1999 hingga 2002 silam, MPR tidak tuntas membahas keberadaan DPD RI yang dimaksudkan sebagai pengganti Utusan Daerah yang dihapus.

Apalagi dalam Undang-Undang MD3, DPD RI hanya dapat mengusulkan Rancangan Undang-Undang dan hanya ikut membahas di fase pertama pembahasan dan di Badan Legislatif. Sedangkan penentu dan pemutus RUU menjadi Undang-Undang adalah DPR RI dan pemerintah.

Inilah mengapa DPD RI sampai dua kali mengajukan Judicial Review ke Mahmakah Konstitusi atas Undang-Undang MD3 yang dinilai belum maksimal memberi ruang kewenangan DPD RI sebagaimana amanat Konstitusi.

Tetapi, kata LaNyalla, meskipun sudah ada dua Putusan MK, Undang-Undang MD3 masih saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang MD3 tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi. Dan, kondisi yang demikian ini jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum,” tegas dia.

Oleh karenanya, proyeksi penguatan kelembagaan DPD RI harus juga didorong melalui pintu Konstitusi. Sehingga, DPD RI benar-benar menjadi sebuah sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis. (Rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *