Perlu Ada Parameter Acuan Penyelenggaraan Pemilu 2024

by
Anggota Komisi II DPR RI dari F-PKB Yanuar Prihatin. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan, berdasarkan pengalaman yang ada, tiap penyelenggaraan Pemilu kerap terjadi kenaikan suhu politik, yang semula dingin menjadi panas. Dan Pemilu 2024 akan berlangsung dalam keadaan dimana bangsa Indonesia belum memiliki pengalaman menyatukan Pileg dan Pilpres dalam satu tarikan nafas dengan Pilkada serentak.

“Pilkada serentaknya kita sudah punya pengalaman, Pileg dan Pilpres disatukan kita juga sudah punya pengalaman, tetapi menyatukan dua even ini dalam satu tarikan nafas kita belum punya pengalaman. Sehingga banyak hal yang harus kita pertimbangkan dengan matang,” ucap Yanuar dalam acara diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Pemilu Serentak 2024: Ujian Demokrasi?”di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021).

Yanuar menyampaikan, ujian demokrasi terbesar 2024 selain mengelola konflik, meredakan ketegangan, dan mendinginkan suhu, ujian terbesar lain adalah bagaimana jaminan Pemilu dan Pilkada berlangsung fair play. Dan jaminan bahwa kualitas hasil Pemilunya juga terjaga.

“Ini ujian yang luar biasa berat karena pertanyaan ini selalu diulang-ulang dalam setiap Pemilu dan Pilkada, yakni bagaimana menjamin fair play. Indikasinya kita tahu seperti money politics, manipulasi suara dan seterusnya selalu berulang setiap Pemilu atau Pilkada,” tuturnya.

Dikatakannya, ujian lainnya adalah bagaimana membangun kecerdasan dan kesadaran masyarakat agar memilih berdasarkan suasana kebatinan yang rela, ikhlas, dan berkualitas.

“Kami berpendapat perlu ada parameter atau ukuran yang sejak awal disepakati Bersama. Parameter yang sudah disepakati antara Komisi II DPR RI dengan Pemerintah adalah tidak merubah aturan main. Artinya undang-undang dan regulasi yang terkait tidak kita ubah,” ujar politisi Fraksi PKB itu.

Menurutnya, perlu dicari waktu yang bisa disepakati bersama atau paling tidak dipahami semua pihak dan tidak menimbulkan perbedaan yang tajam.

“PKB berpendapat perlu ada satu parameter yang harus menjadi tolok ukur bersama dalam situasi ini, yaitu tolong hormati dan hargai kebiasaan hadir suasana spiritualitas sosio kultural yang ada di masyarakat yang sudah menjadi tradisi bertahun-tahun, yaitu suasana Ramadhan dan Idul Fitri,” tandasnya.

Karena bagi PKB dan NU, sambungnya, suasana Ramadhan dan Idul Fitri adalah semacam puncak spiritualitas dimana kita bisa melakukan hal-hal hebat terkait dengan pensucian diri dan jiwa.

“Ini momentum sakral yang harus dihormati dengan tepat. Ini penting diletakkan sebagai parameter buat PKB supaya suhu politik yang naik dengan mekanisme sosial kultural bulan Ramadhan dan Idul Fitri maka bisa turun. Tapi kalau Pemilunya dilaksanakan setelah Ramadhan atau Idul Fitri maka kita tidak punya lagi mekanisme sosial kultural yang alami untuk mendinginkan suasana,” ungkap Yanuar.

Ia menegaskan, aktor kunci yang melaksanakan Pemilu adalah KPU. Hal tersebut sesuai amanat undang-undang. “DPR dan pemerintah sifatnya hanya supporting, memberikan usul, masukan, saran. Seluruh pelaksanaan penyelenggaraan sudah diamanatkan bersama kepada KPU. Semestinya, menurut logika, kita tanya KPU nya, sanggupkah bila dilaksanakan pada tanggal tersebut. Pendapat dan sikap KPU harus kita hormati sebagai bagian dari penegakkan kewenangan masing-masing institusi,” pungkasnya. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *