Sepenggal Kisah Sang Pendongeng

by
Sang Pendongeng Aiptu Supartono, anggota Polres Bojonegoro

BERITABUANA.CO, BOJONEGORO – 1 Juni 1965, tepat saat Presiden Sukarno berpidato di hari lahirnya Pancasila pukul 10.00 WIB, lahir pula sosok bayi mungil dari pasangan Jatimo dan Ranti. Suara tangisnya, memecah suara sang Proklamator yang saat itu berpidato di RRI (Radio Republik Indonesia).

Bayi yang lahir di Desa Sumur Cinde tersebut, merupakan anak terakhir dari 8 bersaudara. Ia mengeyam pendidikan di SD Negeri Sumurcinde, dilanjutkan di SMP Negeri Rengel dan terakhir di SMA PGRI Tuban.

Selain itu, ia juga mendapatkan pendidikan Agama dari kedua orang tuanya. Dari Ayahnya, Ia mendengarkan cerita kisah para Nabi dan perjuangan wali songo penyebar agama Islam di Jawa. Ia juga mendengarkan cerita sejarah perjuangan para pahlawan, yang mampu menumbuhkan benih – benih jiwa nasionalisme.

Sejak masih sekolah, dia sudah mengikuti kegiatan keorganisasian yaitu Pramuka. Dari dunia Pramuka itulah, ia mendapatkan banyak tempaan dan pembentukan karakter. Sehingga terbentuklah jiwa nasionalisme didalam hatinya.

Kini ia telah tumbuh dewasa dan berkeluarga. Ia menikahi seorang gadis bernama Yustitya Lili Ernawati. Dan saat ini, di karunia 2 anak dan 1 cucu. Meskipun sudah dipanggil kakek, namun ia tetap melakukan pekerjaannya dengan Ikhlas dan semangat.

Setiap hari, ia berkeliling dengan motor perpustakaannya. Di masa pandemi ini, anak anak sekolah banyak yang diliburkan. Ia menghampiri anak anak yang tidak sekolah tersebut, untuk diajak membaca, belajar bersama dan mendongeng. Ia berharap, apa yang ia lakukan saat ini, bisa membantu guru dalam membimbing mereka.

Ya.. Dia adalah Aiptu Suparnoto. Sang Pendongeng dari Polres Bojonegoro. Anggota Polri yang saat ini berdinas di Satuan Lalu Lintas Polres Bojonegoro tersebut, sudah mengabdikan diri selama 35 Tahun. Berawal dari masuk Kepolisian melalui Secaba MilSuk 85/86, ia menerima pendidikan di SPN (Sekolah Polisi Negara) Mojokerto – Jawa Timur.

“Saya sudah 35 Tahun mengabdi di Kepolisian sejak Tahun 1986 hingga sekarang,” terang Suparnoto

Perjalanan yang jauh (23km) ditempuh setiap hari pulang – pergi. Artinya, dia harus menelusuri panasnya cuaca jalan sejauh 46km setiap hari. Jembatan penghubung Kabupaten Tuban – Bojonegoro yang rusak, memaksa ia menelusuri tanggul Bengawan solo untuk bisa menyeberang menggunakan jasa penyeberangan perahu getek (perahu tradisional dengan mesin diesel).

Motor perpustakaan keliling merupakan media yang ia miliki saat ini. Membantu para guru mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia menyapa anak anak yang sedang bermain dan mengajaknya belajar membaca, berhitung dan bernyanyi.

Selain itu, kepawaiannya mendongeng kerap ia gunakan untuk memberikan motivasi, Imbauan dan mengajak anak anak tenggelam dalam keceriaan.

“Saya suka mendongeng, sejak sekolah saya menjadi pembina Pramuka untuk adik adik. Dari situlah saya belajar mendongeng dan hingga saat ini saya gunakan untuk memberikan motivasi dan keceriaan,” imbuhnya.

Tugas yang berat tersebut, terus ia lakukan. Ia bertekat untuk mengabdikan diri memberikan yang terbaik bagi Bangsa dan Negara ini meskipun usianya tidak muda lagi. Karena ia yakin, ketika pekerjaan dilakukan dengan ikhlas maka akan menjadi ladang ibadah baginya dan keluarganya.

“Tugas ini memang berat, namun bila dilakukan dengan ikhlas akan menjadi ladang amal ibadah bagiku dan keluargaku,” pungkas pria yang sering di panggil Pak Par.(CS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *