Syarat NIK Jadi Penghalang Akses Vaksin bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan

by
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk akses vaksinasi bagi masyarakat adat dan kelompok rentan mendesak pemerintah untuk tidak menjadikan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai syarat akses vaksin Covid-19.

Pemerintah berupaya semakin gencar melakukan vaksinasi agar bisa segera meredakan dampak Covid-19 dan keluar dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Namun upaya vaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok, yang menjadi target utama Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa terhambat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia No. 10/2021 Pasal 6 Ayat 3 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi. Peraturan ini mewajibkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat mengikuti program vaksinasi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan ada 40-70 juta jiwa masyarakat adat tersebar di Indonesia, 20 juta jiwa dari mereka telah menjadi anggota AMAN. Dari jumlah tersebut, dalam data AMAN, per 21 Juli 2021, baru 468.963 orang yang mendaftarkan diri vaksinasi, sekitar 20.000 dari mereka sudah mendapatkan vaksinasi tahap pertama.

Keterbatasan akses vaksinasi dan ketiadaan NIK menjadi kendala utama rendahnya pendaftar. Untuk itu, negara berkewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk, termasuk akses pemberian vaksin dalam rangka percepatan penanganan pandemi Covid-19.

Bagi masyarakat adat yang tinggal di pedalaman atau pulau terluar, kewajiban memiliki NIK menjadi sandungan signifikan untuk bisa
menjangkau program vaksinasi pemerintah. Vaksinasi, sebagai penangkal Covid-19, adalah penyelamat nyawa yang aksesnya harus diperluas dan diprioritaskan bagi yang benar-benar membutuhkan.

“Pemerintah perlu mengambil langkah diskresi karena ini masalah nyawa orang, bukan sekadar soal pilkada atau pemilu. Bagi masyarakat adat, mengurus NIK di masa normal pun susah, apalagi di masa pandemi,” ucap Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi.

Rukka menegaskan, masyarakat adat bukanlah kelompok rentan. Mereka bisa hidup mandiri dan selama ini telah menjaga keharmonisan dan
kelestarian alam, serta keragaman hayati di daerah-daerah terdalam dan terluar Indonesia.

Wilayah-wilayah adat selama ini, tegasnya, adalah lumbung pangan Indonesia. Namun, berbagai kebijakan pembangunan selama ini telah meminggirkan masyarakat adat dan membuat posisi masyarakat menjadi rentan, termasuk dalam konteks menghadapi pandemi.

Pada setahun pertama pandemi, lokasi terpencil dan relatif terisolasi, kehidupan mandiri, dan kearifan lokal membuat masyarakat adat relatif aman dari Covid-19. Namun seiring perkembangan varian virus lebih dahsyat dan mudah menular, pertahanan masyarakat adat mulai jebol.

Peningkatan angka positif Covid-19 masyarakat adat cukup signifikan, menurut AMAN, terjadi di kawasan Aru Kayau, Kalimantan Utara; Lamandau Kalimantan Tengah, Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan; Sigi, Sulawesi Tengah; dan Kepulauan Aru, Maluku.

“Untuk detail jumlah yang positifnya belum ada karena test and tracing tidak berjalan baik di sana,” kata Rukka.

Mengingat peran penting dalam menjaga biodiversitas dan lumbung pangan, menurut Rukka masyarakat adat perlu dilindungi. Kerusakan pada masyarakat adat dan daerah yang menjadi ruang tinggal masyarakat adat, kata Rukka, pada akhirnya berbahaya bagi seluruh wilayah Indonesia.

Persyaratan NIK untuk vaksin juga menjadi persoalan bagi kelompok rentan dalam berbagai bentuk. Kelompok disabilitas, anak-anak dalam berbagai kondisi yang tak memiliki akta kelahiran, petani, lansia, buruh, transpuan, tunawisma, misalnya, kerap tidak memiliki NIK.

Jika keberadaan KTP dijadikan persyaratan vaksin, by name by address, maka kelompok marjinal akan mengalami risiko tak tersentuh akses vaksinasi dan ini membahayakan keseluruhan upaya penanganan pandemi.

Sebagian masyarakat adat dan kelompok rentan tidak memiliki akses layanan kesehatan yang memadai. Misalnya, karena lokasi tinggal terlalu jauh dari fasilitas kesehatan, ketiadaan infrastruktur, atau adanya keterbatasan fisik. Akibatnya, riwayat kesehatan, keberadaan status komorbid, tidak sepenuhnya diketahui. Karenanya, pemerintah juga perlu menyediakan fasilitas pengecekan
pre-vaksin untuk mengetahui kondisi komorbid calon penerima vaksin.

Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu, mengatakan masyarakat disabilitas membutuhkan informasi konstruktif tentang vaksin COVID-19 dan juga akses fasilitas kesehatan terjangkau, terutama bagi perempuan disabilitas.

“Lemahnya cek kesehatan rutin menyebabkan kita tidak bisa tahu apakah seseorang mengidap komorbid atau tidak,” kata Maulani.

Buyung Ridwan Tanjung dari Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), mendesak adanya sosialisasi terkait prosedur apa yang harus dilakukan para penyandang disabilitas, termasuk buat yang tidak memiliki NIK, untuk bisa mendapatkan vaksin.

“Sebelum vaksin massal diberikan kepada kelompok disabilitas, perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya vaksin. Masih banyak yang menolak vaksin karena ketidaktahuan dan disinformasi,” kata Buyung.

Filantropi Indonesia, perkumpulan organisasi dan individu penggiat filantropi menggarisbawahi persoalan di lapangan bukan hanya
persyaratan kepemilikan NIK yang memberatkan kelompok rentan.

Beberapa lembaga filantropi menjadi sentra vaksinasi, termasuk melayani kelompok-kelompok rentan, menilai terbatasnya akses terhadap fasilitas pemeriksaan kesehatan membuat kelompok rentan dan masyarakat adat tidak memahami riwayat kesehatan mereka. Ketersediaan dan distribusi vaksin yang terbatas juga menyulitkan program kesehatan pemerintah yang dikejar untuk mencapai kekebalan komunitas ini.

“Mereka butuh screening kesehatan tambahan, juga mobilisasi karena ada keterbatasan bagi disabilitas untuk mendatangi layanan kesehatan. Hal yang mungkin kami lakukan adalah membawa vaksin kepada mereka atau membawa mereka ke lokasi vaksinasi,” kata Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, mendesak pemerintah agar mendorong kebijakan bagi masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani, buruh dan kelompok anak tanpa akta agar mendapatkan vaksin tanpa syarat NIK. Lalu, mengingat gentingnya situasi pandemi, Koalisi mendesak pemerintah membuat terobosan agar surat keterangan dari ketua adat, RT/RW, kepala desa, atau organisasi menaungi sebagai pengganti NIK dan dikukuhkan lewat surat edaran kementerian terkait.

AMAN dan organisasi yang bergabung dalam Koalisi ini bersedia membantu pemerintah dalam penyediaan data dan surat keterangan yang dibutuhkan masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani, buruh dan anak-anak. (Efp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *