Catatan Evaluatif Visi Polri Presisi dan Agenda Pemolisian Demokratik

by

BERITABUANA.CO. JAKARTA – Memperingati HUT Bhayangkara Polri ke-75, yang jatuh hari ini (1 Juli 2021), Setara Institute menyampaikan catatan evaluasi atas kinerja reformasi di tubuh Polri. Ada empat catatan evaluasi atas kinerja Korps Bhayangkara dibawah kepemimpinan Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo versi Setara Institute.

Berikut catatan evaluasi yang Direktur Eksekutif Setara Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani kepada wartawan di Jakarta, Kamis (1/7/2021) bertepatan hari Bhayangkara ke-75.

Pertama, secara umum, tingkat kepuasan terhadap institusi Polri terus bergerak meningkat, sejalan dengan upaya-upaya perbaikan yang terus dilakukan. Visi Presisi (prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan) Polri yang juga menjadi landasan kerja presisi, telah membukukan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri cukup signifikan.

Survei Litbang Kompas (Februari 2021) menunjukkan angka 74,4 persen institusi Polri sebagai institusi yang dipercaya publik. Sedangkan survey Cyrus Network (Juni 2021) menempatkan Polri pada angka 86,2 persen sebagai institusi yang dipercaya publik.

“Sebagai hasil survei, tingkat kepercayaan publik merupakan akumulasi persepsi dari seluruh kinerja Polri, yang tidak sepenuhnya mampu mendeteksi masalah-masalah detail partikular yang masih melekat dalam tubuh Polri,” ujar Ismail.

Kedua, jika dipotret dengan menggunakan kerangka pemolisian demokratik sebagai standar kepatuhan institusi negara di tengah arus dan tuntutan masyarakat demokratik, maka Polri adalah subyek yang harus menjalankan kewajiban untuk memberi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) terhadap HAM.

Ismail Hasani mengutip pandangan Jeremy Travis, (1998), pemolisian demokratik menuntut Polri bekerja berdasarkan dan dalam kerangka menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Oleh Polri, keharusan patuh pada prinsip HAM dituangkan dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Ketiga, di tengah pandemi Covid-19, Polri menjadikan kinerja penanganan Covid-19 sebagai indikator kinerja utama (IKU) pimpinan-pimpinan Polri di setiap jenjang. Pilihan Polri mengutamakan kesehatan publik merupakan bagian dari upaya perlindungan dan pemenuhan HAM bagi rakyat.

“Dalam konteks penanganan Covid-19, banyak pihak mengapresiasi kinerja Polri, termasuk penggunaan perspektif human security, yang meletakkan manusia sebagai sentral dan orientasi kinerja keamanan,” katanya.

Keempat,  selain diapresiasi soal penanganan Covid-19, sejumlah catatan evaluatif terkait perlindungan HAM, masih belum memperoleh perhatian dan menjadi  prioritas Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Namun, menilai kepemimpinan Polri di bawah Jenderal Listyo menghadapi tantangan yang semakin kompleks, khususnya bekerja di tengah pandemi Covid-19. Menjabat sejak Januari 2021, visi Polri presisi (prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan) belum sepenuhnya menunjukkan perubahan di Korps Bhayangkara ini.

Pihaknya juga mencatat adanya pembatasan akses informasi, hingga tindakan penghalang-halangan akses bantuan hukum bagi demonstran yang ditangkap.

Ihwal tindakan kekerasan aparat ini dari tahun ke tahun, Ismail melanjutkan, selalu menjadi locus kritik pelbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk oleh Komnas HAM. Bahkan pada aksi #ReformasiDikorupsi pada 24-30 September 2019, Komnas HAM mencatat ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri.

Dalam catatan Komnas HAM pun, Polri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan kepada Komnas HAM sepanjang 2020, di antaranya terkait lambannya penanganan kasus, dugaan kriminalisasi, proses hukum tidak sesuai prosedur, dan dugaan kekerasan.

Kultur kekerasan juga terlihat dalam peristiwa yang terjadi di ruang tahanan Polri. Kasus Herman, salah seorang tahanan yang tewas di sel Mapolresta Balikpapan pada Desember 2020 menjadi cerminan puncak gunung es peristiwa serupa. Dalam kasus Herman, Polri telah menetapkan 6 (enam) orang anggota Polisi menjadi tersangka.

Menurut Ismail,  kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan terjadi karena model penyelidikan, interogasi yang dilakukan oleh anggota Polri untuk memperoleh pengakuan dan informasi dengan cara kekerasan seharusnya menjadi masa lalu, karena bertentangan dengan pemolisian demokratik.

Praktik kekerasan juga dialami oleh Luthfi (20), pemuda pembawa bendera yang viral saat demo di DPR memberikan kesaksian di hadapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).

Dalam kasus ini, Luthfi mengaku dianiaya oleh penyidik kepolisian saat dimintai keterangan di Polres Jakarta Barat, yang bertujuan memperoleh pengakuan bahwa dirinya telah melempar batu kepada aparat kepolisian yang saat itu tengah mengamankan aksi di depan Gedung DPR/MPR.

Dalih kepolisian bahwa si korban dianiaya oleh tahanan lain, menurut Ismail, bukanlah pembenaran yang bisa diterima, tetapi justru menunjukkan kompleksitas praktik penyiksaan ini, mulai dari dugaan dilakukan pihak kepolisian, tahanan lain, kelalaian kepolisian dalam menjaga para tahanan, hingga ketidakmampuan kepolisian dalam menjamin rasa aman, penegakan hukum, dan HAM setiap tahanan.

Selain ihwal kekerasan dan dugaan praktik penyiksaan, Setara Istitute menyikapi isu penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian patut disoroti dengan serius. Dia mengatakan, penggunaan senjata api, bukan lagi berorientasi untuk melumpuhkan target tetapi mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau beberapa orang warga negara.

Menurutnya, Polri sendiri sebenarnya telah memiliki Peraturan Kepolisian No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang mengatur tahapan dan orientasi penggunaan senjata api, sebagai bagian dari standar yang harus dipatuhi oleh anggota Polri.

Akan tetap dalam beberapa kasus, seperti peristiwa penembakan 6 anggota Laskar Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020, penembakan terhadap seorang berinisial ZA (25) yang melakukan penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret lalu, serta penembakan terhadap seorang DPO kasus judi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa kepatuhan pada Perkap No.1/2009 tersebut masih belum sepenuhnya diinternalisasi dan dipedomani.

Dalam kasus-kasus penembakan yang mematikan, menurut dia, semestinya Polri menerbitkan white paper sebagai bagian dari akuntabilitas penggunaan senjata api, yang menjelaskan kepada publik tentang peristiwa-peristiwa tersebut dan level keberbahayaannya, sehingga tidak menimbulkan kontroversi.

“White paper itulah akan menjadi ruang pembelaan Polri mempertanggungjawabkan tindakannya, termasuk memberikan pengakuan jujur tentang potensi unprocedural conduct dan pelanggaran, sehingga valid memberikan sanksi kepada anggota, termasuk memberikan sanksi serius bagi yang melanggar,” jelasnya.

Setara Institute juga menyoroti  tantangan lain yang  harus dijawab Polri yakni  memastikan proses hukum dan penegakan hukum secara adil dan presisi. Penunda-penundaan proses hukum dalam beberapa kasus kata Ismail, telah menimbulkan ketertundaan orang-orang yang berurusan dengan hukum memperoleh keadilan.

Padahal justice delayed is justice denied menurutnya,  seharusnya dipedomani oleh Polri. Menunda proses diperolehnya keadilan adalah sama saja menyangkal keadilan itu sendiri. Perbaikan tata kelola di reserse Polri adalah kebutuhan mendesak untuk Polri yang presisi.

“Nah, selama 6 bulan Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjabat, Setara Institute mengapresiasi  sejumlah inisiatif dan kebijakan baru seperti mainstreaming restorative justice dalam penyelesaian jenis perkara pidana tertentu, pengetatan pedoman penggunaan UU ITE untuk menghindari over-kriminalisasi penyampaian pendapat dan ekspresi dan penanganan intoleransi dan radikalisme secara akuntabel adalah modal untuk terus memperbaiki kinerja Polri. Penting bagi Polri untuk membuktikan bahwa penegakan hukum sepenuh-penuhnya ditujukan untuk mencetak keadilan bagi rakyat bukan untuk mencetak prestasi di mata kekuasaan, sebagaimana selama ini sering dituduhkan,” kata Ismail.

Menurut dia, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih mempunyai cukup waktu untuk menunaikan dan mewujudkan janji yang tertuang dalam visi ‘Polri Presisi’ dengan terus bekerja presisi berdasarkan aspirasi masyarakat demokratik. (Efp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *