Para Aktivis Minta agar Jangan Kaitkan Terorisme dengan Ajaran Islam

by
Diskusi yang diselenggarakan oleh KMI bertema "Hijrah dari Ekstrimisme ke Moderat", di kantor KMI Jalan Salemba, Jakarta Pusat.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Para aktivis mahasiswa dan kepemudaan dari berbagai elemen angkat suara terkait adanya anggapan kalau perspektif Islam maupun dalam konteks negara Indonesia, tindakan-tindakan yang disebut teror dan radikal seringkali dikaitkan dengan Islam. Mereka dengan tegas menyatakan tidak sependapat soal anggapan tersebut.

Seperti Ketua Umum HMI MPO Affandi Ismail Hasan berbicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertema “Hijrah dari Ekstrimisme ke Moderat”, di kantor KMI Jalan Salemba, Jakarta Pusat, Senin kemarin (3/5/2021) menegaskan ketidaksepakatan karena Islam merupakan agama yang Rahmatan Lil Al-Amin.

“Sebagai generasi muda Islam tentunya tidak sepakat dengan hal itu dan harus berani mengatakan bahwa tidak benar jika terorisme, radikalisme dan ekstrimis dikaitkan dengan ajaran agama Islam, sehingga sangat penting kita menampilkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin,” ujar Affandi.

Terkait ekstrimisme, ia sepakat dengan moderasi agama. Namun demikian, moderasi agama bukan hanya bagaimana Islam dihadirkan wajahnya yang moderat tetapi juga agama-agama lain yang hadir di Indonesia.

“Jadi sangat jelas ketika bicara bagaimana menghadirkan Islam sebagai agama yang rahmatan Lil alamnin, maka pada saat itu juga kita perlu menghindarkan Islam dalam pengertian-pengertian yang sangat ekstrim kanan maupun kiri,” katanya.

Sedang Sekjen BEM Nusantara, M. Julianda Arusha mengatakan, kaum milenial memang dituntut untuk berfikir ekstrim karena yang bisa mengubah arah bangsa menjadi lebih baik adalah kaum muda. Namun perbedaannya, kaum muda sekarang mudah disusupi radikalisme.

“Kalau kita tarik ke isu radikalisme, kami juga menyatakan sikap menolak itu dimana kelompok ekstrimisme dengan mudah mengkafirkan kelompok tertentu,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum GPI Diko Nugraha berpendapat, tindakan ekstrim merupakan suatu tindakan yang diluar kebiasaan. Jika dikaitkan dengan moderasi agama, menurutnya yang perlu dimoderasi bukan ajarannya tetapi persoalannya adalah mampukah merubah sikap dan perilaku tersebut agar tidak menimbulkan ekstrim.

Ketua Umum PP SEMMI, Bintang Wahyu Saputra menilai, ekstrim merupakan perilaku dasar diri dimana ada dorongan sifat yang tentunya dari masukan-masukan dari eksternal fikiran kita. Jika melihat sejarahnya, Indonesia dipenuhi kaum ekstrimis dan radikalis, akan tetapi dalam perang kemerdekaan.

“Ekstrim dan radikal merupakan perilaku dasar kita, namun kalau sudah menyangkut terorisme itu yang salah. Jadi sifat ekstrimis sudah terbentuk lama sejak merebut kemerdekaan,” jelasnya.

Untuk ekstrim itu sendiri merupakan buah fikiran kita yang tidak bisa kita paksakan untuk berubah dengan cepat namun bisa kita realisasikan.

“Salah satu cara untuk melakukan deradikalisasi ekstrimisme adalah misalnya dengan menerbitkan buku. Sementara ektrim saat ini seringkali dilakukan anak milenial sehingga filterisasi dari sistem digital harus ditingkatkan,” imbuhnya.

Sebagai anak muda, tambahnya, harus memiliki tanggungjawab untuk menjelaskan dan merasionalisasikan kepada orang yang memiliki kecenderungan berperilaku ekstrim, yang tadinya ekstrim negatif kita tarik untuk menjadi ekstrim positif agar bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum GPII, Masri Ikoni mengatakan terhadap perilaku ekstrimisme menjadi sebuah PR bagi kita untuk memberikan narasi yang berbeda untuk melawan perspektif mereka.

“Cara pandangnya yang harus kita lawan, tetapi orangnya tidak,” demikian Masri Ikoni. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *