BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pemberian lebih banyak insentif di sektor pembiayaan mobil listrik. Pasalnya, keringanan pembiayaan yang saat ini ada dinilai masih belum cukup mendorong penetrasi pasar, demikian di sarankan
Riyanto, Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI (LPEM UI), di acara Webinar Diskusi Virtual Industri Otomotif Peluang dan Tantangan Mobil Listrik di Indonesia, Kamis (26/11).
“Walaupun kita ketahui pemerintah mulai 1 Oktober 2020 telah memberikan insentif DP (down payment/DP) hingga 0 persen kepada pembeli mobil maupun motor listrik—mulai dari hybrid, plug-in hybrid, sampai 100 persen baterai. Ini diatur lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/13/PBI/2020, tambah Riyanto.
Lebih lanjut Riyanto mengungkapkan kalau DP 0 persen menjadi salah satu upaya awal mendorong tumbuhkembang pasar dan industri kendaraan listrik di Indonesia. Selain itu, terdapat pula berbagai insentif fiskal dan nonfiskal yang mulai berlaku Oktober 2021, demi target 20 persen produksi lokal kendaraan listrik pada 2025.
menganggap insentif dari sisi pembiayaan yang ada sekarang masih belum banyak mendorong masyarakat membeli kendaraan listrik. Ini ditambah lagi dengan harganya yang masih terlampau mahal, khususnya untuk mobil listrik. Terdapat pula tantangan dari segi infrastruktur.
Perlu Suku Bunga Rendah
Dalam seminar yang di gelar Forwor dan Forwin itu Riyanto juga menyarankan adanya dua bentuk insentif lain seperti dari sisi suku bunga dan insentif dari sisi tenor.
“Suku bunga mungkin harus dibedakan sebagai insentif. Pembeli mobil listrik mungkin diberi tingkat suku bunga lebih rendah, mestinya. Kalau biasanya misalnya 12, 13, 14 persen ini mungkin kasih saja 5 persen,” jawabnya ketika di tanya media.
Selain itu adanya insentif dari sisi tenor. Perlu ada regulasi yang memungkinkan pemberian tenor lebih panjang bagi kredit mobil listrik.
Insentif suku bunga dan tenor, lanjut Riyanto, bisa dimulai dari bank – bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian, pemerintah dapat lebih mudah mengaturnya.
“Untuk itu perlu pelopor dari bank pemerintah seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, termasuk BTN. Karena bank juga harus ada cost of capital maka untuk itu pemerintah bisa memberi subsidi,” jelas Riyanto.(Savor)