1 Tahun Gelora: Tantangan Integrasi Narasi dan Aksi

by
Milad ke-1 Partai Gelora Indonesia.
Endi Kurniawan.

Oleh: Endy Kurniawan (Wasekjen Bidang Inovasi Budaya & Hubungan Lembaga)
UNTUK menjadi besar, masalah terbesar Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia adalah persoalan dalam diri. Pertama soal mengartikulasi ide menjadi tindakan. Wajar ketika organisasi berdiri maka perekatnya adalah prinsip, idiologi dan narasi. Namun, terlalu lama menterjemahkannya menjadi aksi akan membuat organisasi jadi terlihat sedang bermimpi. Kedua soal hambatan untuk tumbuh karena hubungan antara ‘present capacity & future capabilities’ dengan gangguan historis. Tidak perlu dijelaskan bahwa sebagian penggerak Gelora adalah organisatoris dan aktivis yang terusir dari sebuah partai. Seringkali cara berpikir dan bersikapnya tampak seperti sekumpulan prajurit terluka yang membawa beban dendam. Begitu dalam luka itu dan begitu kuat bayang-bayang masa lalu sehingga ada kekhawatiran mengalihkan fokus, mimpi besar yang sedang dituju.

Di lingkungan global yang makin terakselerasi dan tanpa batas, organisasi seperti ormas dan parpol menemui persoalan yang makin kompleks. Di barat banyak contoh gagal. Godaan yang muncul kemudian adalah kembali ke nostalgi pemikiran dan gerakan masa lalu (contoh: gerakan ‘millenial sosialis’ atau fundamentalisme Islam yang marak) atau sebuah tawaran baru yang segar dan terbuka. Menurut Thomas L. Friedman di bukunya “Thank You for Being Late’, pada bagian “Mother Nature as Political Mentor’ ada tiga persoalan yang harus diatasi organisasi massa (dan politik) kini. Pertama adalah entry barrier bagi generasi baru yang makin tipis untuk bergabung dalam gerakan. Generasi baru ini masuk ke mid-class economy dalam keadaan lebih mudah. Mereka, karena banyak sebab misalnya ketersediaan lapangan kerja & peluang membuka usaha yang lebih baik, tidak perlu bekerja sekeras generasi sebelumnya untuk menikmati hasil yang sama. Generasi ini disebut ‘malas manja’, sebuah ‘kaum rebahan’.

Yang kedua adalah kesiapan organisasi menerima pluralisme. Di barat persoalannya adalah gelombang imigran dan pengungsi. Di negara seperti Indonesia persoalannya adalah latar belakang ras, agama dan kebudayaan yang makin tak terlacak. Terlalu banyak ‘global citizen’ di angkatan muda saat ini dengan ragam pemikiran. Apakah mereka bisa mendapatkan tempat? Ketiga adalah level ekonomi antara daerah rural dan urban menjadi dekat jaraknya. Desa pun berkurang dan bergerak menjadi kota. Apa tawaran organisasi untuk mengubah struktur ekonomi dan budaya untuk memperbaiki nasib masyarakatnya? Untuk diketahui, dianggap akseleratif dan konstruktif, En ‘Marche dipilih di Perancis karena membawa harapan baru dan menjawab 3 persoalan diatas.

Setelah deklarasi gegap gempita Gelora di sebagian besar provinsi, pengurusnya harus membalik perhatian. Menemukenali ‘pain points’ dan segera memberikan obat penawar untuk arah baru negerinya. Dengan kombinasi sumber daya ‘para senior yang berpengalaman’ dan ‘anak muda yang bertenaga’ mestinya kerja besar segera bisa dimulai. Tapi anak muda punya persoalannya sendiri. Dan Wagner berusia 24 tahun ketika memimpin kampanye nasional Barack Obama “Get Out The Vote”. Pada periode Obama kedua, Wagner di usia 28 tahun menjadi kepala bidang analisis data. Dia bilang, “I think the US is very special in culture of appreciation for merit and the best idea. The serious problem is the young generation don’t integrate those ideas into what they’re doing.” (The Industries of Future, Alec Ross, 2016). Gelora tidak kehilangan ide dan imajinasi. Persoalan Gelora adalah menterjemahkan “Menjadi 5 besar dunia” menjadi kerja-kerja. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *