Perlukah Sosok Semacam Harmoko?

by
Harmoko, mantan Menpen era Orde Baru.

Oleh: Teddy Mihelde Yamin (Direktur Eksekutif Cikini Studi)

Teddy Yamin.

MASIH ingat Harmoko? Beliau adalah seorang tokoh pers yang menjabat Menteri Penerangan di masa pemerintahan Orde Baru, di jajaran Menteri Kabinet Presiden Soeharto (atau lebih diingat juga dengan Pak Harto). Persisnya menjabat pada periode 19 Maret 1983 – 16 Maret 1997. Sebelum beliau jabatan tersebut dipegang oleh Ali Moertopo menjabat : 29 Maret 1978 – 19 Maret 1983. Keduanya orang kepercayaan Pak Harto pada masanya.

Di masa orde baru rasanya tidak ada hari tanpa Harmoko, karena hampir setiap hari atau setiap minggu beliau muncul dengan keterangan press-nya dari Istana Negara seusai sidang kabinet atau ketika menyertai perjalanan Pak Harto dan disiarkan oleh TVRI kemudian belakangan disusul TV swasta. Kemunculan tokoh Pers yang juga pernah menjabat Ketua Umum Golongan Karya (1993-1998) ini sungguh fenomenal, bertugas menerangkan tentang hasil sidang kabinet dan berbagai kemajuan sekaligus problem Indonesia serta perkembangan ataupun tujuan dari pembangunan itu sendiri. Tak terkecuali perkembangan harga bahan pokok atau harga cabe dan telor.

Saking seringnya muncul di publik, sampai akhirnya nama beliau di-plesetkan jadi ‘hari-hari ngomong kosong’, memperolok kejenuhan masyarakat kala itu. Walau tak sekalipun terdengar tokoh ini menonjolkan diri pribadinya misalkan sekolahnya, gelar ataupun jabatannya. Tapi begitulah tabiat publik memperoloknya.

Tetapi setelah 23 tahun kemudian, menyaksikan komunikasi publik yang kurang menguntungkan bagi bangsa ini justru aku melihat Indonesia rasanya perlu seorang sosok semacam Harmoko. Sosok yang dengan pilihan kata sederhana dan lugas kebetulan medok Jawa Timuran (beliau lahir di Nganjuk), yang dengan telaten menerangkan kepada para jurnalis. Untuk kemudian jurnalis dari dalam dan luar negeri memberitakan kembali kepada masyarakat dan dunia.

Sesuai tugasnya, Menteri Penerangan memang harus menyampaikan pesan sukses, pesan propaganda itu pasti. Terlebih lagi bagi negara seperti Indonesia menurutku hal tersebut penting agar rakyat tidak bertanya-tanya dan berspekulasi yang pada akhirnya berkembang menjadi ‘hoaks’ atau narasi kebencian yang berkepanjangan. Karena sesungguhnya tidak semua orang bisa berbicara baik di depan publik. Perlu keahlian tersendiri.

Terlepas dari isi kebijakan itu sendiri, satu hal itu yang menurutku, sangat kurang dan perlu dikoreksi pada pemerintahan Presiden Jokowi sekarang ini, komunikasi publiknya. Misalkan saja pada periode kedua pemerintahan Jokowi, pemilihan figur Fadjroel Rachman sebagai Staf Khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Komunikasi sekaligus Juru bicara Presiden Joko Widodo pada Kabinet Indonesia Maju. Sebagai seorang yang berlatar belakang aktivis urusan keberanian dan artikulasi ke publik tentu tak diragukan lagi. Berikut juga Ali Mochtar Ngabalin dengan latar belakang politiknya yang ciamik direkruit sebagai Tenaga Ahli Utama KSP dan sering berbicara atas nama Presiden Jokowi, rasanya kehadiran para tokoh tersebut langsung ke publik mewakili suara Istana membuat maksud dan tujuan pemerintah tidak mencapai sasaran dengan baik, karena ditangkap publik berbeda. Kenyataannya seperti saat ini, seolah kurang koordinasi, kurang persiapan dan sebagian jadi blunder. Tak bisa dipungkiri seringkali dihadirkannya profile yang ‘pintar ngomong’ dan berdebat tidak jaminan, justru membuat persepsi publik seolah sedang berhadap-hadapan dengan pemerintah. Sayangnya, publik kok diladeni dengan berdebat terbuka dan berkepanjangan. Begitu juga dengan beberapa Menteri, Menko bahkan kebiasaan Presiden sekalipun yang langsung berbicara dengan publik (mohon maaf) sebaiknya dipertimbangkan kesiapan, waktu dan caranya. Karena beberapa masalah justru jadi blunder, dan diperolok publik.

Banyak contoh sebenarnya, misalkan dalam menjelaskan secara lengkap maksud dan tujuan rencana kehadiran 500 orang tenaga kerja asing dari Tiongkok untuk pekerjaan tambang di tengah PSBB pandemic covid ini. Menurut info seorang netizen PFG yang berkomunikasi langsung dengan LBP sesungguhnya ada pertimbangan khusus dari beliau buat kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Tidak ada kepentingan pribadi.
“Ternyata di Morowali itu ada 2.700 pekerja Cina, tapi 45.000 pekerja Indonesia. Waduh! Ada Hotel Bintang 5. Dan yang gila Pembangkit tenaga listrik sudah mencapai 3000MW. Sama dengan Paiton dan Suralaya dijadikan satu. Ini sama dengan 30% dari tenaga Listrik Jawa yang dibangun selama 60 tahun. dan dibangun dalam waktu 5 tahun”, tulis PFG dalam statusnya.

Tetapi karena cara penyampaian (maaf ya Pak Luhut – mengingat Menko Kemaritiman dan Investasi yang berasal dari Sumatera Utara seperti saya, berbicara keras dan apa adanya itu biasa, ditambah lagi dengan latar belakang tentara terbiasa bicara tegas), akhirnya terlanjur terjebak pada prasangka dan serba merepotkan. Dan banyak contoh lain jadi berkesan menang-menangan atau benar benaran.

Jika saya berpendapat mungkin saja tidak semua setuju kepentingannya untuk bangsa dan negara tercinta ini. Bukan berarti menyanjung golongan tertentu dan balik ke masa lalu. Sekali lagi saya pastikan saya tidak kenal dengan kedua figur juru bicara Presiden yang saya sebutkan di atas. Jadi pasti tidak ada kepentingan ataupun problem pribadi. Harapan saya, semoga saja pemerintah dapat mempertimbangkan figur yang cocok yang membawa keteduhan tetapi jelas. Bukankah yang terpenting pesan baik pemerintah sampai ke masyarakat? ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *