Ahli Pidana Sebut Akta yang Belum Digunakan Tidak Mempunyai Kekuatan Mengikat Secara Hukum

by
Dj Samosir, SH, ahli hukum pidana memberikan pendapatnya soal kasus dugaan pemalsuan surat di sidang PN Jakarta Utara.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Suatu akta yang diduga palsu namun belum pernah digunakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Hal itu dikatakan Dj Samosir, SH, ahli hukum pidana di sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara atas kasus dugaan pemalsuan surat dengan terdakwa Ren Ling, Poa Hermanto Sundjojo, dan Sumuang Manullang, Rabu (22/9/2021)

Menurut ahli, unsur-unsur di Pasal 263 KUHP sudah sangat jelas memiliki rambu-rambu.

“Yakni, apabila dapat menimbulkan kerugian. Kalau tidak digunakan maka akibat itu tidak ada. Karena ini hubungan sebab akibat,” terangnya menjawab pertanyaan Farida Felix, SH, penasehat hukum para terdakwa.

Ahli kemudian membuat contoh. Ada 1.000 surat palsu yang masih tersimpan dan belum pernah digunakan. Pembuat surat palsu itu, katanya, tidak dapat dituntut. Karena tidak ada orang yang dirugikan dan juga tidak ada timbul hak atas surat tersebut.

“Jadi pengertian digunakan itu menjadi syarat mutlak dalam Pasal 263, 264, dan 266 KUHP. Artinya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum,” katanya dengan tegas.

Terkait surat undangan yang menjadi masalah kepada ketiga terdakwa dalam mengadakan RUPS luar biasa PT BCMG Tani Berkah, menurut ahli surat undangan itu bukan merupakan sebuah akta autentik.

“Sebab, akta autentik itu adalah dokumen atau surat-surat yang dikeluarkan seseorang berdasarkan kewenangan menurut UU seperti diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Misalnya KTP, SIM, dan juga surat lahir, serta surat kematian,” paparnya.

Disinggung mengenai hak melapor ke polisi jika terdapat dugaan tindak pidana dalam suatu perseroan terbatas, ahli berpendapat bahwa itu merupakan ranahnya direktur.

“Bahwa yang mewakili badan hukum itu dalam perseroan adalah direktur. Maka itulah yang berhak melaporkan,” tegasnya.

Apabila ada seseorang yang mengaku dapat surat kuasa untuk melaporkan dugaan tindak pidana itu ke polisi, bahkan surat kuasa itu tidak dapat diperlihatkan di persidangan, ahli menambahkan, kebenaranya diragukan.

“Sebab, surat kuasa itu merupakan hak subyektif untuk dilakukan. Tapi kalau tidak bisa menunjukkan surat kuasa itu, menurut saya tidak benar lagi itu,” katanya.

Mengenai prosedur pembuatan suatu akta notaris, menurut ahli, diawali dari kedatangan para pihak menghadap notaris. Kemudian notaris mencatatkan apa yang dikehendaki para pihak.

“Dia (notaris) tidak perlu tanya, tidak perlu uji apakah betul atau tidak keterangan para pihak itu. Dimana sudah jelas sekali kalimat di atas akta itu, datang ke saya menghadap tuan ini,” terangnya.

“Tetapi kemudian ternyata ada keterangan yang disampaikan salah satu para pihak yang salah. Jadi yang salah bukan notaris, yang salah adalah yang memberikan keterangan ke notaris,” kata ahli.

Namun, lanjut ahli, jika misalnya ada dua nama yang dimasukkan dalam akta dan sesungguhnya kedua nama itu tidak ada, bahkan yang membuat akta itu sudah mengakui, maka itu bisa dikategorikan membuat keterangan palsu dalam suatu akta.

Untuk itu, lanjut ahli, tindakan oknum notaris yang mencantumkan nama seseorang di akta yang seolah-olah ikut hadir dalam RUPS, akibat hukumnya musti dipertanggungjawabkan secara hukum.

“Permohonan maaf tidak menghapuskan perbuatannya. Si notaris itu bisa dituntut karena memberikan keterangan palsu dalam suatu akta,” terangnya kepada majelis hakim yang diketuai Dodong, SH. (Sormin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *