Lebih Realistis dan Bersiap Menghadapi Kondisi Terpahit

by

Oleh: Teddy Mihelde Yamin, Analis dan Direktur Eksekutif Cikini Studi

Teddy Mihelde Yamin, Analis.

KEMARIN Jumat (20/3/2020) Dollar US kembali menguat terhadap rupiah, siang bahkan menyentuh Rp 16,550. Lebih dalam dari sehari sebelumnya Kamis (19/3/2020), yang tertolong langkah intervensi Bank Indonesia (BI) membeli obligasi sebesar Rp 192 T, sehingga sore hari terkoreksi Rp 15,900.

Ada pengaruhnya atau tidak, tetapi kondisi tersebut telah memancing komentar Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), mendorong Pemerintah, Bank Indonesia agar mengambil langkah strategis dan mengimbau masyarakat untuk tidak berspekulasi dengan dollar yang dapat berakibat melemahnya nilai tukar rupiah, serta mendorong masyarakat untuk bersikap tidak panik dalam situasi kritis saat ini.

“Masyarakat tidak menarik uangnya yang berada di bank secara besar-besaran (rush money) yang dapat menyebabkan bank kolaps,” pinta mantan Ketua DPR RI itu, Kamis (19/3/2020) saat itu.

Sekarang sudahlah, jangan terlalu banyak bermanis-manis lagi, realistis saja. Selamat datang kondisi permulaan krisis, kondisi pahit ini bahkan bisa lebih menyakitkan dari krisis 2008 atau 1998, mengingat berbagai faktor menyulitkan yang datang sekaligus. Selain pandemi Covid-19 yang belum teratasi, produk andalan ekspor Indonesia juga jatuh di pasar dunia, karena seluruh dunia juga terdampak. Tak terkecuali pasar modal Indonesia yang terguncang terus menerus, belum rebound. Sementara industri pariwisata dan pendukungnya sudah ‘menggelepar’ lebih awal.

Masalahnya, sampai kapan pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia terus menerus mampu mengintervensi pasar, sementara cadangan devisa Indonesia yang semakin menipis. Jika terus dalam kondisi seperti ini, siap-siap menjadi pasien IMF lagi. Siap-siap ‘membebek’, mengikuti kehendak mereka, yang dampaknya baru terselesaikan puluhan tahun kemudian. Sementara utang luar negeri per Januari 2020 sudah mencapai 410,8 miliar US atau setara Rp 6,000 Triliyun.

Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2019 tercatat sebesar 129,2 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Sekalipun Bank Indonesia menilai bahwa cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Tetapi jangan lupa, apakah sudah memperhitungkan kondisi krisis multi dimensi di tengah pandemi seperti saat ini. Untuk diketahui cadangan devisa Indonesia jika dibanding dengan Produk Domestik Bruto (PD kita kecil hanya. 10,9 prosen, sementara jika dibanding beberapa negara tetangga kita kalah besar, Malaysia 27,3 prosen, Thailand 39,5 prosen dan Philipina 21,8 prosen.

Jadi dibanding beberapa negara tetangga kondisi kita tentu tidak lebih baik dalam persiapan menjaga stabilitas kurs terhadap mata uang yang dominan digunakan dalam transaksi international. Sementara dunia usaha penting dengan kepastian kurs tersebut. Untuk itu sebaiknya pemerintah segera menunda bahkan membatalkan semua yang tidak penting. Fokus pada penanganan corona virus ini dan mitigasinya. Setelah stabil kembali hitung ulang APBN dan membuat skala prioritas realistis. Jangan lagi angin surga, jangan ada lagi bicara ‘pindah Ibu Kota’, dan saling menonjolkan diri dan kelompoknya.

Sementara kepada Usaha Mikro segeralah bersiap untuk kondisi terpahit yang sudah di depan mata. Yang penting tetap sehat dan semangat ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *