Oleh: Ery Satria Dharma
KETIKA berita politik sering kali dipersepsikan sekadar permainan kata atau manuver kepentingan, inisiatif Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Universitas Paramadina terasa seperti oase di tengah padang pasir. Sebuah langkah kecil, tapi sarat makna besar: memuliakan profesi wartawan melalui pendidikan.
Bagi banyak jurnalis yang sehari-hari bekerja di lingkungan Parlemen—meliput rapat, memantau kebijakan, dan menulis tentang wakil rakyat—tantangan sesungguhnya bukan sekadar mengejar berita tercepat. Tantangan itu adalah bagaimana menghadirkan kedalaman dalam setiap tulisan. Dan kedalaman, seperti halnya kualitas, lahir dari pengetahuan.
Ketua KWP, Dr. Ariawan, S.AP., MH., MA., tampaknya memahami hal ini dengan sangat baik. Ia mendorong para wartawan untuk tidak berhenti belajar, bahkan sampai jenjang pascasarjana. “Teman-teman wartawan harus terus meningkatkan kapasitas dan kompetensinya. Minimal menempuh pendidikan S2, bahkan S3 jika memungkinkan. Ini bagian dari upaya kita memperkuat kualitas jurnalisme Parlemen,” ujarnya usai menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas Paramadina, di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.
Jurnalisme Parlemen yang Melek Akademik
Kerja sama ini memberikan kesempatan bagi wartawan Parlemen dan keluarganya untuk mengenyam pendidikan tinggi, dengan beasiswa S1 bagi keluarga wartawan dan S2 bagi wartawan aktif. Bagi dunia pers, ini bukan sekadar program akademik, tapi langkah strategis untuk membangun jurnalisme yang reflektif dan berbasis ilmu pengetahuan.
Bayangkan jika setiap jurnalis Parlemen memiliki pemahaman kuat tentang politik, hukum, dan kebijakan publik—maka liputan parlemen tidak lagi sebatas kutipan debat, melainkan analisis yang mencerahkan publik. Inilah makna sesungguhnya dari public accountability dalam jurnalisme: bukan hanya melapor, tetapi juga mendidik masyarakat agar memahami konteks di balik setiap kebijakan.
Dengan sekitar 191 media dan lebih dari 580 wartawan aktif di bawah naungan KWP, langkah ini bisa menjadi gerakan intelektual yang berkelanjutan. Sebab, menurut Ariawan, MoU tersebut tidak berhenti di masa kepemimpinannya. “Siapapun nanti ketua KWP-nya, program beasiswa tetap bisa diakses,” tegasnya.
Pendidikan sebagai Pilar Demokrasi
Wakil Rektor Paramadina Bidang Mutu dan Kerja Sama, Prof. Iin Mayasari, menyebut kolaborasi ini sejalan dengan nilai-nilai kampus Paramadina: inklusif, berintegritas, dan berpihak pada kemanusiaan. “Pendidikan harus bersifat inklusif. Wartawan adalah mitra penting dalam menjaga transparansi dan demokrasi, sehingga mereka juga perlu mendapatkan dukungan untuk terus belajar dan berkembang,” ujarnya.
Pesan ini sederhana, namun relevan di tengah kondisi media yang kerap terjebak pada arus klik dan kecepatan berita. Wartawan, sebagai garda terdepan penyampai informasi, justru perlu lebih banyak ruang untuk berpikir, membaca, dan memperluas wawasan. Pendidikan formal bisa menjadi jembatan untuk itu.
Lebih dari Sekadar Berita
Langkah KWP-Paramadina ini sesungguhnya mengingatkan kita pada esensi awal profesi jurnalis: menjadi pencari kebenaran dan pencerah publik. Dan kebenaran tidak bisa dicapai tanpa kejujuran intelektual serta kedalaman analisis.
Tidak berlebihan jika inisiatif ini disebut sebagai bentuk “revolusi senyap” di tubuh jurnalisme Parlemen. Sebuah gerakan yang tak hanya menulis berita, tapi menulis sejarah baru—bahwa wartawan juga adalah insan pembelajar, bukan sekadar penyampai informasi.
Dalam dunia yang kian kompleks, wartawan yang berpendidikan tinggi bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan. Sebab, kualitas demokrasi kita bergantung pada kualitas mereka yang menulis tentangnya. ***





