BERITABUANA.CO, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah, menegaskan komitmen partainya untuk mendorong penguatan sistem trias politica sebagai fondasi utama demokrasi di Indonesia, agar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dapat berjalan seimbang melalui mekanisme check and balance.
Menurut Fahri, penguatan tiga cabang kekuasaan negara tersebut penting agar sistem demokrasi tidak berjalan secara parsial dan tidak terjebak pada kultus individu terhadap pemimpin.
“Trias politica mendorong kita memandang persoalan berbangsa dan bernegara secara utuh, bukan sepotong-sepotong. Kalau tidak, kita akan terus terjebak pada kesalahan yang sama,” ujar Fahri.
Pernyataan itu disampaikan Fahri dalam Kajian Pengembangan Wawasan bertema Wawasan Kebangsaan Seri ke-12 yang diselenggarakan DPP Partai Gelora di Jakarta, Jumat (26/12/2025) malam.
Fahri menyoroti kecenderungan publik di Indonesia yang kerap menempatkan presiden secara berlebihan, lalu berbalik menyerang setelah masa jabatannya berakhir. Ia mencontohkan perlakuan terhadap Presiden pertama RI Soekarno hingga Presiden ketujuh RI Joko Widodo.
“Di masa Orde Lama, Bung Karno didewa-dewakan. Setelah tidak berkuasa, dicaci maki dan bahkan jejak sejarahnya ingin dihapus. Hal serupa juga terjadi pada Presiden Soeharto,” kata Fahri, yang juga menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP) itu.
Ia menilai Soeharto selama 32 tahun memimpin Orde Baru juga dipuja dengan berbagai gelar, namun setelah lengser justru mendapat kecaman luas. Fahri pun menyinggung pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto pada peringatan HUT ke-80 RI, Agustus 2025 lalu, sebagai upaya melihat sejarah secara lebih adil.
Menurut Fahri, pola serupa juga dialami presiden-presiden setelahnya, seperti BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Joko Widodo.
“Terutama presiden yang memimpin agak lama. Pak SBY pernah diganggu, dan sekarang kita menyaksikan bagaimana Pak Jokowi juga diserang luar biasa,” ujarnya.
Padahal, kata Fahri, saat masih menjabat, Jokowi sempat dielu-elukan secara berlebihan. Ia bahkan mengaku pernah mengalami tekanan dan ancaman ketika mengkritik Jokowi saat menjabat sebagai anggota DPR.
“Ketika saya mengkritik Pak Jokowi sebagai fungsi legislatif, saya didemo, bahkan pernah diacung-acungkan senjata. Kritik dianggap sebagai kebencian terhadap pemimpin,” kata Wakil Ketua DPR RI periode 2014–2019 itu.
Namun setelah Jokowi tidak lagi menjabat, Fahri melihat muncul kecenderungan sebaliknya, yakni penilaian ekstrem yang menafikan jasa-jasa Jokowi.
“Padahal beliau juga punya kontribusi bagi bangsa ini, tentu dengan segala kekurangan yang ada,” ujar Fahri.
Ia menilai siklus pengkultusan dan pembencian terhadap pemimpin akan terus berulang jika masyarakat gagal memahami negara sebagai sebuah sistem, bukan semata-mata figur.
“Ini akibat lemahnya cara pandang kita terhadap negara sebagai sistem yang memiliki banyak komponen, termasuk rakyat,” katanya.
Fahri menekankan pentingnya peran rakyat untuk terus mendidik diri agar tidak salah memilih pemimpin. Ia mengingatkan bahwa kesalahan memilih pemimpin akan berujung pada kekecewaan publik sendiri.
Karena itu, Partai Gelora, kata Fahri, ingin membuka ruang dialog luas untuk memperbaiki sistem politik dan ketatanegaraan, termasuk mekanisme pemilu.
“Kami membuka diskusi penyempurnaan sistem politik, sistem pemilu, hingga sistem ketatanegaraan,” ujarnya.
Bahkan, Fahri menilai wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar 1945 tetap perlu dibuka sebagai ruang evaluasi konstitusi.
“Dalam 30 tahun terakhir pasca-amandemen I sampai IV, banyak persoalan yang perlu dicarikan solusi melalui penyempurnaan konstitusi,” kata Fahri.
Ia menegaskan bahwa konstitusi dan undang-undang merupakan karya manusia yang terbuka untuk dikritisi dan diperbaiki.
“Harapannya, kita bisa menemukan sistem yang lebih ideal dan solid demi masa depan demokrasi Indonesia,” pungkasnya. (Ery)







