Oleh: Hj. Saadiah Uluputty*
Di tanah Maluku —tanah para pelaut, tanah yang ditempa gelombang dan sejarah— ada satu nama yang terus hidup dalam ingatan kolektif warganya: Abdoel Moethalib Sangadji, atau yang lebih akrab kami sebut A.M. Sangadji. Ia bukan sekadar figur dalam lembar buku pelajaran; ia adalah denyut perjuangan yang meneguhkan martabat rakyat Maluku jauh sebelum Indonesia merdeka.
Namun, sudah lebih dari dua puluh tahun, rakyat kami menunggu sebuah pengakuan yang tak kunjung tiba. Pengakuan negara terhadap seorang putra terbaiknya.
Jejak yang Tak Pernah Padam
A.M. Sangadji tidak lahir sebagai tokoh daerah. Ia adalah tokoh pergerakan nasional, sejajar dengan H.O.S. Cokroaminoto dan Haji Agus Salim yang bersuara lantang menantang kolonialisme. Ia seorang dokter rakyat yang menambal luka bangsa dengan ketulusan; seorang pendidik yang menyalakan kesadaran kebangsaan di tengah keterbatasan.
Jejaknya jelas. Pengabdiannya nyata. Tetapi hingga hari ini, namanya belum juga terukir dalam daftar Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Di Maluku, setiap kali nama A.M. Sangadji disebut, ada kebanggaan. Tapi ada juga perih yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Penantian yang Melelahkan
Pemerintah Provinsi Maluku, DPRD, dan Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah telah menunaikan tugasnya. Kajian akademik diselesaikan. Seminar nasional digelar. Dokumen-dokumen diserahkan dengan rapi, disertai dukungan moral dari masyarakat.
Namun semua itu berhenti di satu titik: meja birokrasi pusat. Tak ada kepastian, tak ada penjelasan.
Pertanyaannya sederhana, namun terasa berat: Apa lagi yang harus rakyat Maluku buktikan agar negara mendengar?
Keadilan yang Teralihkan
Kita sering mengucapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dengan bangga. Kita bicara tentang keadilan dari Sabang sampai Merauke. Namun realitas kerap menunjukkan hal sebaliknya, tokoh dari wilayah Timur Nusantara sering berada di baris belakang dalam pengakuan negara.
Tak ingin menyulut polemik, tetapi fakta sulit ditepis. Penghargaan terhadap pahlawan dari pusat sering datang lebih cepat dibanding mereka yang berjuang jauh dari lingkar kekuasaan.
Lalu, apakah nilai perjuangan ditentukan oleh letak geografis?
Apakah darah pejuang dari timur kurang merah dibanding mereka dari barat?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tajam, tetapi ia lahir dari suara hati rakyat Maluku—suara yang meminta keadilan sejarah.
Lebih dari Sekadar Gelar
Bagi rakyat Maluku, usulan gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar prestise. Ini adalah pengakuan moral; cara negara menghormati mereka yang mengorbankan hidup demi republik.
A.M. Sangadji telah menorehkan jejaknya dalam perjalanan bangsa: menggerakkan rakyat, memupuk harapan, dan menanamkan benih nasionalisme ketika Indonesia masih dalam gelap penjajahan.
Mengakui beliau sebagai Pahlawan Nasional bukanlah kemurahan hati negara. Itu adalah bentuk keadilan — sesuatu yang seharusnya diberikan sejak lama.
Menuliskan Nama dalam Ingatan Bangsa
Sejarah suatu bangsa ditentukan oleh siapa yang berani ia ingat. Kita tidak bisa menyebut diri bangsa besar jika kita membiarkan sebagian anak terbaiknya tenggelam dalam sunyi, hanya karena mereka dilahirkan jauh dari pusat kekuasaan.
Karena itu, saya mengajak pemerintah pusat, Presiden Republik Indonesia, dan seluruh bangsa dengarlah suara rakyat Maluku. Berikan keadilan bagi mereka yang telah memberi hidupnya pada republik ini.
Di hati kami, A.M. Sangadji sudah lama menjadi pahlawan. Kini, kami hanya berharap negara menuliskan hal yang sama —bukan esok, bukan nanti, tetapi sekarang. ***
* Penulis adalah Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Dapil Maluku.





