BERITABUANA.CO, JAKARTA — Kasus seorang pelajar SMA di Kulonprogo, Daerah Istimewa (DIY) Yogyakarta, yang terjerat utang pinjaman online (pinjol) ilegal, akibat kecanduan judi online atau judol, kembali membuka mata publik akan bahaya jerat keuangan digital di kalangan remaja. Bahkan, banyak pelajar tergoda oleh kemudahan aplikasi pinjol tanpa memahami risiko bunga tinggi, penagihan kasar, hingga ancaman penyebaran data pribadi.
Menyorti kasus tersebut, konsultan keuangan Asep Dahlan menilai, fenomena ini bukan sekadar soal uang, melainkan juga soal literasi keuangan dan komunikasi keluarga yang lemah. Menurutnya, orang tua perlu menjadi ‘benteng pertama’, dalam membimbing anak agar tidak mudah tergiur oleh tawaran pinjaman cepat yang berujung masalah.
“Anak-anak zaman sekarang terpapar iklan pinjaman online hampir setiap hari di media sosial, termasuk iming-iming dapat cuan (uang) banyak dari aplikator judi online. Kalau mereka tidak dibekali pemahaman keuangan sejak dini, rasa ingin tahu dan keinginan tampil keren bisa membuat mereka terjebak,” ujar Kang Dahlan, pendiri Dahlan Consultant itu, dihubungi Ahad (2/11/2025).
Terkait permasalahan tersebut, Asep Dahlan membagikan 5 (lima) tips yang harus dilakukan para orang tua. Pertama, para orang tua harus membangun komunikasi terbuka dengan anak mengenai kebutuhan dan keinginan finansial.
“Mengapa? Karena banyak pelajar terjerat pinjol karena malu atau takut meminta uang tambahan untuk hal-hal kecil seperti tugas sekolah atau hiburan. Jadi, anak harus merasa aman untuk bercerita. Kalau mereka terbiasa jujur soal keuangan, kecil kemungkinan mereka mencari solusi instan lewat pinjol,” jelasnya.
Kedua, pentingnya bagi para orang tua untuk mengajarkan literasi keuangan kepada anak sejak dini, termasuk cara mengelolanya sejak anak duduk di bangku sekolah. Caranya bisa sederhana: memberi uang saku dengan tanggung jawab, mengajarkan menabung, atau melibatkan anak dalam perencanaan belanja keluarga.
“Literasi keuangan bukan cuma soal menabung, tapi juga soal memahami risiko utang dan bunga. Anak perlu tahu bahwa uang digital pun tetap punya konsekuensi di dunia nyata,” tambah Asep Dahlan.
Ketiga, orang tua juga harus mempu memberikan edukasi bahaya pinjaman online, baik yang legal maupun ilegal. Pinjol legal terdaftar di OJK, sedangkan pinjol ilegal sering memanfaatkan data pribadi dan menagih dengan cara-cara tidak manusiawi.
“Orang tua bisa tunjukkan situs resmi OJK atau aplikasi ‘Kontak OJK’ untuk mengecek izin pinjol. Ini penting agar anak tahu mana yang aman,” katanya lagi.
Keempat, meggunakan kasus nyata akibat berutang dari aplikasi pinjaman online sebagai pelajaran.
Dan, kasus pelajar SMA di Kulonprogo bisa dijadikan contoh nyata untuk mengedukasi anak tentang risiko pinjol.
Menurut Asep Dahlan, belajar dari kisah nyata lebih efektif dibanding sekadar nasihat umum. “Bicara pakai contoh nyata membuat anak sadar bahwa ini bukan ancaman imajiner. Pinjol ilegal bisa menjerat siapa pun, bahkan pelajar,” ujarnya.
Kelima, pihak orang tua juga harus menumbuhkan rasa cukup dan pengendalian diri, kepada anak bahwa gaya hidup konsumtif dan tekanan sosial sering menjadi pemicu anak mengambil pinjaman. Karena itu, penting bagi orang tua untuk menanamkan nilai kesederhanaan dan rasa cukup.
“Kalau anak diajarkan bahwa kebahagiaan tidak tergantung pada barang atau tren, mereka tidak mudah tergoda oleh pinjaman instan,” tuturnya.
Menurut Asep Dahlan, solusi menghindari jeratan pinjol ilegal berawal dari rumah. Orang tua perlu hadir sebagai teladan finansial, bukan hanya pemberi uang. “Anak belajar dari contoh, bukan sekadar dari nasihat. Kalau orang tua bijak mengelola keuangan, anak akan meniru,” pungkasnya. (Ery)

													



