BERITABUANA.CO, WASHINGTON — Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan potensi penurunan tajam terhadap pertumbuhan ekonomi global seiring kembali memanasnya hubungan antara Amerika Serikat dan China. Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Krishna Srinivasan, menyebut ada “risiko penurunan yang signifikan” bila ketegangan dagang kedua negara terus meningkat.
Srinivasan menjelaskan bahwa setelah periode stabilitas singkat, Washington kembali memperluas pembatasan teknologi terhadap China dan mengusulkan tarif baru bagi kapal-kapal China yang masuk ke pelabuhan AS.
Sebagai balasan, lanjut Srinivasan, Beijing memperketat kontrol ekspor logam tanah jarang dan material kritis lainnya yang penting bagi rantai pasokan global.
“Jika risiko ini terealisasi dalam bentuk tarif lebih tinggi dan gangguan rantai pasokan, maka pertumbuhan global bisa turun sebesar 0,3 poin persentase,” kata Srinivasan sebagaimana dikutip , Jumat (17/10/2025).
Ia menambahkan kalau ketegangan lebih lanjut juga akan menjadi risiko penurunan bagi ekonomi China. Apalago, ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu kini menjadi perhatian serius para pembuat kebijakan global.
Pekan ini, Menteri Keuangan AS Scott Bessent bahkan melontarkan kritik tajam terhadap pejabat tinggi perdagangan China, menuduhnya datang ke Washington “tanpa diundang dan bersikap gila.”
Meski aktivitas ekonomi di kawasan Asia-Pasifik masih menunjukkan ketahanan di tengah beban tarif dan ketidakpastian kebijakan, IMF tetap menilai risiko perlambatan kian nyata. “Ketegangan besar masih sangat dominan,” ujar Srinivasan.
Pertumbuhan Ekonomi Asia akan Melambat
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia akan melambat menjadi 4,5% pada 2025, turun dari 4,6% pada 2024, namun masih lebih tinggi dibandingkan proyeksi awal April lalu ketika Presiden Donald Trump pertama kali mengumumkan tarif impor baru. Pada 2026, laju pertumbuhan diproyeksikan kembali melemah menjadi 4,1%.
Dalam konferensi pers di Washington, Srinivasan menyebut ada tiga faktor utama yang menopang ketahanan ekonomi Asia: ekspor yang masih kuat, dorongan dari sektor teknologi, serta kebijakan makroekonomi yang lebih longgar berkat kondisi keuangan yang mendukung.
Namun, ia menegaskan bahwa risiko terhadap prospek pertumbuhan tetap cenderung negatif. Dampak tarif yang belum sepenuhnya terasa, kenaikan premi risiko, dan potensi kenaikan suku bunga global dapat memperparah tekanan ekonomi kawasan, terutama jika ketegangan geopolitik dan kebijakan perdagangan terus meningkat. (Red)