BERITABUANA.CO, MATARAM — Pemerintah menilai kebijakan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) dengan etanol sebesar 10 persen berpotensi menekan kadar sulfur yang tinggi dalam bahan bakar kendaraan. Langkah ini dinilai dapat memperbaiki kualitas udara dan mempercepat transisi menuju energi bersih nasional.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (LH/BPLH) Dr. Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, penerapan bahan bakar berbasis etanol merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menurunkan polusi sektor transportasi yang menjadi salah satu sumber utama emisi karbon di Indonesia.
“Bilamana dikonversi sebagian dengan bahan bakar alami, tentu mengurangi sulfur,” ujar Hanif Faisol Nurofiq saat meninjau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sandubaya di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (11/10/2025).
Hanif mengakui, kadar sulfur dalam BBM yang beredar di Indonesia masih jauh di atas standar global. Sebagian besar produk BBM nasional mengandung sulfur sekitar 1.500 part per million (ppm), jauh melebihi batas maksimum 50 ppm yang ditetapkan dalam standar Euro V.
Meski mendukung langkah transisi energi ini, Hanif menyebut kementeriannya tetap berhati-hati dalam memberikan tanggapan agar tidak menimbulkan polemik lintas kementerian. “Saya tidak menyikapi dulu, takut ada polemik. Tapi intinya BBM kita sulfurnya masih tinggi,” ujarnya.
Presiden Setujui Mandatori Etanol 10 Persen
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui penerapan mandatori campuran etanol 10 persen (E10) dalam BBM. Pemerintah menilai kebijakan ini tidak hanya menekan emisi karbon, tetapi juga mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil.
Saat ini, Indonesia baru menerapkan campuran etanol 5 persen (E5) melalui produk Pertamax Green 95, yang termasuk dalam kategori bahan bakar non-penugasan (non-PSO).
Etanol merupakan bahan bakar terbarukan yang dihasilkan dari sumber alami seperti jagung, tebu, singkong, dan limbah pertanian. Program pengembangan bioetanol ini menjadi bagian dari strategi nasional dalam memperluas pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) serta memperkuat ketahanan energi dalam negeri.
Salah satu proyek utama yang tengah disiapkan adalah perkebunan tebu seluas 500.000 hektare di Merauke, Papua Selatan, yang ditargetkan mulai memproduksi bioetanol pada tahun 2027.
Kementerian ESDM berharap proyek tersebut dapat mereplikasi keberhasilan Brasil dalam mengembangkan industri bioetanol berbasis tebu, sekaligus mempercepat transformasi energi nasional menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. (Ery)