Sungai Adalah Rahim Kehidupan, Ayo Muliakan!

by
Irwan Fecho. (Foto: Dok Pribadi)

MENURUT Kitab Suci, kehidupan bermula ketika bumi dihamparkan, air diturunkan, dan biji-bijian ditumbuhkan. Menurut sains dan teori evolusi, menguatkan firman Sang Maha Pencipta, bahwa kehidupan bermula dari air. Air yang mengalir menjadi sungai yang membawa dan membuka peradaban.

Jika merujuk catatan sejarah dunia, kita menemukan fakta yang konsisten, bahwa hampir semua peradaban besar lahir dan berkembang dari tepian sungai. Mesir Kuno dengan Sungai Nil misalnya, menjadi jalur transportasi dan perdagangan utama yang mendukung ekonomi dan pembangunan, serta menjadi pusat spiritual dan budaya dalam kepercayaan mitologi Mesir.

Mesopotamia sebagai Cradle of Civilization juga tumbuh pesat karena Sungai Tigris dan Eufrat menyediakan air dan jalur transportasi. Di Tiongkok, Sungai Kuning menjadi fondasi dinasti-dinasti besar, lalu Sungai Indus di anak benua India, melahirkan kota-kota awal dengan tata kotapraja yang maju. Bahkan di Eropa, kota modern seperti London bertumpu pada Sungai Thames sebagai jalur perdagangan sekaligus pertahanan. Semua ini menegaskan bahwa sungai bukan hanya latar geografis, melainkan instrumen utama yang mengarahkan jalannya sejarah manusia.

Kisah yang sama juga terlihat jelas di Nusantara. Sungai Musi mengantarkan Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan internasional yang menghubungkan dunia Timur dan Barat. Sungai Mahakam melahirkan Kutai, kerajaan tertua yang meninggalkanprasasti-prasasti awal di tanah air. Sungai Brantas menopang pertanian dan perdagangan Majapahit, yang kejayaannya diakui hingga mancanegara. Sungai Peusangan memberi kehidupan bagi Samudra Pasai yang menjadi pusat penyebaran Islam dan perdagangan maritim.

Jejak sejarah itu berlanjut di Batavia, ketika Sungai Ciliwung dan Cisadane menjadi nadi kota pelabuhan yang kemudian tumbuh sebagai pusat pemerintahan. Di Kalimantan, Sungai Barito menghidupi masyarakat Dayak dan Banjar membentuk pola kehidupan sosial ekonomi mereka. Semua ini menunjukkan dengan gamblang bahwa sungai adalah rahim peradaban, ruang di mana masyarakat tumbuh, ekonomi bergerak, dan kebudayaan berkembang.

Sungai sejak lama menjadi bagian penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Sungai bukan hanya tentang aliran air, tetapi sistem penopang kehidupan yang membentuk ruang interaksi sosial. Di masa kecil saya di kampung halaman, Sangkulirang, Kalimantan Timur, sungai menjadi ruang kelas alam terbuka tempat belajar, bermain, sekaligus tempat menikmati percakapan bersama kawansebaya.

Dari pengalaman kecil itu, saya memahami bahwa sungai adalah laboratorium kehidupan yang membentuk kedekatan manusiadengan alam.

Sungai adalah infrastruktur dasar alami penyedia air baku, sumber energi terbarukan, sarana transportasi, dan penyedia pangan dan protein hewani. Sayangnya, ketika kita mendengar kata “infrastruktur”, pikiran kita sering tertuju hanya pada bentuk buatan manusia, sesuatu yang terbangun, seperti jalan tol, jembatan, bandara, atau pelabuhan.

Padahal, jauh sebelum beton dan aspal hadir, sungai sudah lebih dulu menjadi infrastruktur utama bagi manusia. Sungai menjadi jalur transportasi dan komunikasi pertama, ruang pengendali banjir alami, sekaligus penyedia air bersih untuk minum dan irigasi. Sungai juga menjadi sumber energi terbarukan melalui pembangkit listrik tenaga air serta rumah bagi plasma nutfah, mulai dari tumbuhan, hewan, hingga mikroorganisme yang menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak kalah penting, sungai selalu hadir sebagai pusat peradaban dan budaya.

Indonesia sendiri adalah negeri dengan karunia sungai yang luar biasa. Tercatat ada lebih dari 70.000 sungai yang mengaliri semua anak bangsa di seluruh Nusantara. Panjangnya, bila digabungkan, tidak kira-kira, total mencapai 84.678 kilometer atau enam kali keliling bumi. Sungai-sungai ini terbagi dalam sekitar 42.200 Daerah Aliran Sungai (DAS). Di antara semuanya, Sungai Kapuas di Kalimantan Barat adalah yang terpanjang, dengan panjang sekitar 1.143 kilometer, hampir sepanjang Pulau Jawa, jarak dari Anyer ke Panarukan.

Namun, di balik kekayaan ini, kita juga menghadapi kenyataan pahit, beberapa DAS kita tergolong kritis. Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, dan Bengawan Solo sering disebut sebagai sungai dengan kerusakan kronis akibat pencemaran, hilangnya area sempadan sungai, dan menyusutnya vegetasi alami daerah tangkapan air. Padahal sungai-sungai ini begitu vital, dimanfaatkanuntuk transportasi, sumber air minum, irigasi, hingga pembangkit listrik.

Ikhtiar Bersama

Jika kita ingin memastikan sungai tetap menjadi urat nadi kehidupan, maka yang dibutuhkan bukan hanya pengelolaan teknis, melainkan ikhtiar bersama. Sungai harus kita muliakan, bukan sekadar kita manfaatkan. Di sinilah saya ingin menawarkan gagasan risalah ‘pohon dampak’, sebuah cara pandang yang menempatkan sungai sebagai inti pembangunan kehidupan.

Bayangkan sungai sebagai sebuah pohon. Akar dari pohon itu adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya sungai. Kita harus kembali mengingat peran sungai dalam ekosistem, manfaatnya bagi masyarakat, serta tantangan besar dalam pengelolaannya. Batang pohon itu adalah tujuan program. Mulai dari memperbaiki tata kelola, mengurangi masalah pencemaran dan pengrusakan sungai, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan melestarikan keanekaragaman hayati sebagai sistem penyangga kehidupan.

Lebih jauh, ranting dan daun dari pohon itu adalah pelaksanaan program: aksi nasional bersih sungai, reboisasi sempadan, serta kampanye edukasi dan penyadartahuan. Sementara buah dari pohon itu adalah hasil dan dampak. Seperti meningkatnya partisipasi masyarakat, membaiknya kualitas air, terjaganya keanekaragaman hayati, serta tumbuhnya kesadaran bahwa sungai adalah bagian utama penyokong kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.

Saya percaya, menjaga sungai adalah amanah yang tidak bisa ditunda. Bukan hanya karena kita ingin menghindari bencana banjir atau krisis air, tetapi karena sungai adalah cermin siapa kita sebagai manusia. Apakah kita generasi yang mampu menjaga warisan peradaban, atau justru generasi yang membiarkan kerusakan menggerusnya?

Bagi saya, sungai selalu punya makna yang dalam. Dari kecil, sungai adalah ruang bermain. Saat dewasa, sungai menjadi ruang refleksi. Dan hari ini, sungai adalah pengingat bahwa kehidupan tidak bisa berdiri sendiri, manusia bergantung pada harmoni dengan alam. Jika sungai kita rusak, maka rusak pula peradaban kita. Jika sungai kita lestari, maka tegaklah martabat kita sebagai bangsa yang mampu menjaga warisan.

Karena itu, saya ingin mengajak kita semua untuk memuliakan sungai. Kita rawat alirannya, jaga sempadannya, dan lindungi ekosistemnya. Jangan biarkan sungai menjadi tempat pembuangan sampah atau limbah industri. Jangan biarkan sungai kehilangan maknanya sebagai sumber kehidupan. Kita harus mengembalikan sungai ke tempat yang semestinya, yakni sebagai urat nadi peradaban, sumber kebudayaan, dan cermin kualitas hidup bangsa.

Sungai adalah aliran kehidupan. Dari sungai tumbuh kebudayaan, dari sungai terbentuk peradaban, dan dari sungai pula masa depankita ditentukan. Menjaga sungai adalah menjaga keberlanjutan hidup generasi mendatang. Maka, mari kita muliakan sungai, sebagaimana kita muliakan sejarah, budaya, dan kehidupan itu sendiri.

*Irwan Fecho atau Bang Haji Irwan* –
(Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Alumni Sekolah Kehutanan Menengah Atas/PP IKA SKMA