SAKSIMINOR Tegaskan Tak Ada Tempat Bagi Predator Seks Anak di NTT

by
Perwakilan SAKSIMINOR saat beri keterangan pers. (Iir)

BERITABUANA.CO, KUPANG — Memasuki tahapan penuntutan eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, SAKSIMINOR harus tegaskan bahwa tidak ada tempat, bagi predator seksual anak di NTT. Penegasan tersebut diungkapkan SAKSIMINOR menggelar jumpa pers, di kantor LBH APIK NTT, Sabtu (20/9/2025).

Anggota SAKSIMINOR antara lain: LBH APIK NTT, YKBH Justitia, LPA NTT, Rumah Perempuan, Rumah Harapan-GMIT, PKBI NTT, IMoF NTT, AJI Kota Kupang, KOMPAK, JIP, IPPI, KPAP NTT,IRGSC, GARAMIN, LOWEWINI, HWDI.

Lalu Yayasan Cita Masyarakat Madani, HANAF, YTB, SABANA Sumba, LBH Surya NTT, Solidaritas Perempuan Flobamoratas, PWI NTT, PIAR NTT, UDN, GMKI Cabang Kupang, GMNI Cabang Kupang, HMI Cabang Kupang, PMKRI Cabang Kupang, PMII Cabang Kupang JPIT, dan Jemaah Ahmadiyah Cabang NTT.

“Kurang lebih enam bulan proses kasus kejahatan  seksual terhadap tiga anak. Perkara ini bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa,” ujar Ketua Perlindungan Anak (LPA) NTT, Veronika Hatta.

Dijelaskan,sejak awal.SAKSIMINOR berkomitmen penting untuk menekankan kasus ini, ada  terobosan hukum oleh Aparat Penegak Hukum.

“Kejahatan seksual terhadap anak merupakan extra ordinary crime- Kejahatan luar biasa. Peradilan selain berorietansi pada prosedur pemidanaan secara formal, hendaknya tidak mengabaikan instrumen perlindungan anak dan  pemulihan Korban,” pintanya.

Karena itu, tambah Veronka Atta, pernyataan Saksi Ahli pada persidangan berpotensi berkontribusi pada  putusan yang  tidak adil bagi korban, juga mencederai mandat perlindungan anak.

“SAKSIMINOR menilai, pembacaan Tuntutan dalam kondisi saat ini, masih terlalu dini apabila tidak didahului dengan kesempatan menghadirkan saksi ahli tandingan dalam persidangan,” paparnya.

SAKSIMINOR percaya, lanjut Veronka Atta, dengan upaya penundaan pembacaan tuntutan, bukanlah bentuk penghambatan proses hukum, melainkan bagian dari prinsip proses hukum yang adil “due process of law”, yang justru memperkuat legitimasi putusan pengadilan.

Pada kesempatan yang sama, Direktur LBH APIK, Ansy Rihi Dara menuntut langkah-langkah konkret dan tegas dari Aparat Penegak Hukum.

“Oleh karena itu, penting untuk kami  menyampaikan beberapa seruan,” ujar Ansy Rihi Dara.

Pertama, proses peradilan perlu untuk menunda pembacaan Tuntutan terhadap eks Kapolres Ngada, sampai dengan dihadirkannya saksi ahli tandingan dari bidang hukum perlindungan anak, psikologi forensik, guna menjamin pemenuhan prinsip kepentingan terbaik bagi anak korban.

Kedua, menuntut penjatuhan hukuman maksimal, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap pelaku.

Ketiga, hentikan praktik impunitas terhadap Aparat Penegak Hukum, yang melakukan tindak pidana kejahatan  seksual, dengan memastikan adanya akuntabilitas individu maupun institusional.

Keempat, mendorong Kejaksaan menghadirkan Saksi ahli pembanding di bidang hukum pidana, perlindungan anak, dan viktimologi untuk memberi perspektif yang objektif, ilmiah, dan punya perspektif  korban.

Dan kelima, negara wajib menjamin pemulihan menyeluruh bagi korban, termasuk dukungan psikologis, sosial, dan pendidikan, sebagai bagian dari hak restitusi anak yang dijamin oleh negara..

Serta keenam, mengajak masyarakat untuk secara intens memantau proses kasus ini dan   bersama-sama berperan aktif dalam mengawal kasus ini dan memberikan dukungan kepada korban, memperjuangkan keadilan, dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. (Iir)