Berbuat Baik kepada Alam, Mitigasi Bencana Hidrometeorologis

by
Irwan Fecho. (Foto: Dok Pribadi)

SELAMA tahun 2024, sebanyak 1,23 juta rumah terendam dan sekitar 80.000 rumah rusak (ringan, sedang, berat) akibat bencana hidrometeorologis yang terjadi di seluruh Indonesia, demikian data dari Badan Nasional Penanggulangan Nasional dalam laporan “Data Bencana Indonesia tahun 2024”.

Bayang-bayang bencana alam di Tanah Air memang semakin dekat dan semakin sering. Kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia banyak disebabkan oleh fenomena hidrometeorologi, yaitu bencana yang dipengaruhi oleh cuaca dan aliran permukaan: banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan.

Masih berdasarkan data tahun 2024, sebanyak 3.472 kejadian bencana alam, sebesar 99,34% adalah bencana hidrometeorologi, atau hanya 23 kejadian bencana karena disebabkan oleh faktor geologi: gempa bumi dan gunung meletus.

Kengerian dan kesedihan akibat bencana alam di berbagai daerah semakin merongrong kenyamanan hidup masyarakat. Pembangunan di hilir – yang biasanya berupa dataran rendah, menjadi kawasan permukiman, pengembangan pusat industri atau fasilitas umum (transportasi, perniagaan, dll), untuk mengantisiasi desakan pertumbuhan penduduk, tidak bisa dihindari.

Konsekuensinya, pengembangan lahan pertanian (perkebunan, palawija, peternakan) juga semakin merambah ke daerah tengah dan hulu, menyisakan sedikit areal dengan tutupan vegetasi alami. Daerah dengan tutupan vegetasi alami, berupa campuran pohon, perdu, dan semak, dalam istilah tata ruang disebut ‘Daerah Tangkapan Air’ atau catchment areas.

Contoh nyata kejadian banjir bandang di Kalimantan Barat dan Bali, luapan aliran permukaan yang menyebabkan banyak daerah terkena dampaknya. Setelah kejadian ini beramai-ramai banyak pihak yang seakan baru tersadar, bahwa catchment areas di kedua wilayah sudah sangat sempit.

Tidak ada jalan lain, air hujan yang tumpah ke bumi langsung melimpas dan menghempas daerah hilir. Menyisakan nestapa kerugian akibat banjir sekaligus mendekatkan sumber penyakit kepada anak-anak dan merentankan kesehatan orang tua kita.

Sungai dan sempadannya di bagian hulu, tengah, dan hilir seringkali kita abaikan. Daerah tangkapan air (DTA) yang fungsinya sangat krusial sebagai penyangga aliran run off (aliran permukaan) kurang sekali diperhatikan dalam perencanaan kewilayahan.

Konsep hulu dan hilir, mendorong para pihak berkepentingan di hilir berkontribusi terhadap pencegahan dan perbaikan lingkungan di hulu. Satu artikel di the Jakarta Post beberapa waktu yang mengupas peran penting ‘investasi dalam pelestarian alam’, cukup menarik.

Tulisan Dr Sunarto ini menyoroti pentingnya keterlibatan pihak di hilir (industri, pasar, masyarakat umum, pelaku usaha) dan peran kebijakan daerah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan yang fokus pada perbaikan lingkungan, salah satunya adalah vegetasi alami di wilayah sempadan sungai dan daerah tangkapan air.

Perlu diingat bahwa isu perbaikan lingkungan tidak sesempit dari sekedar menjaga hutan dan keanekaragaman hayati, tetapi lebih luas mencakup menjaga rasio penutupan vegetasi alami (tajuk beragam) di daerah tangkapan air, sempadan sungai, flood plain, dan aliran-aliran air permukaan.

Berbicara tentang flood plain, saya membawa oleh-oleh catatan kunjungan pribadi saya ke Kota Oxford, beberapa bulan lalu. Kota Oxford adalah salah satu dari sekian banyak kota yang wilayahnya adalah bagian dari DAS Thames (atau Isis).

Tidak lebih dari dua kilometer dari pusat Kota Oxford, terdapat padang rumput atau meadow yang sekilas seperti lahan tak produktif. Port Meadow, nama bentangan padang rumput seluas ~167 hektar, yang seperti tak produktif itu, berada di sisi utara-barat pusat kota. Rupanya, daerah ini adalah lapangan tebuka yang selalu jadi daerah genangan ketika musim dingin (hujan).

Siapa sangka, Port Meadow adalah padang rumput kuno yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai padang pengembalaan, hingga hari ini. Selain peran penting dalam masyarakat peternak di Kota Oxford kala itu, cekungan Port Meadow ditetapkan oleh Dewan Kota Oxford sebagai kawasan penting pencegahan dan penanggulangan banjir. Dengan berfungsinya meadow ini maka luapan air hujan selama musim dingin di Oxford, tidak pernah mejadi masalah yang mengancam keselamatan warga.

Di belahan bumi lain, di Kota Tianjin, Tiongkok, membangun dan mengembangkan taman-taman resapan air. Investasi ini menjadi solusi berbasis alam yang sangat cerdas dalam mengelola aliran air permukaan yang melewati pusat kota.

Sponge city, atau kota berpori menjadi trend kota-kota kelas dunia untuk menyediakan salah satu solusi pengelolaan aliran air permukaan dengan pendekatan ‘hydro-ecological infrastructure’.

Dua contoh nature engineering yang cerdas ini membantu kedua kota dalam menata iklim mikro kota, pengolahan (penyimpanan dan penyaringan alami) air hujan, menurunkan suhu sekitar, dengan investasi langsung dalam bentuk perbaikan alam dan lingkungan.

Contoh pendekatan pembangunan berbasis kearifan masyarakat yang mengikuti fenomena alam ini mungkin bisa diterapkan di beberapa kota di Tanah Air. Tak ada kata terlambat dan tidak harus dalam skala yang impresif, massif ataupun menjadi fenomenal.

Pembangunan sponge park di setiap kecamatan, atau kelurahan di daerah urban bisa menjadi solusi investasi yang lebih murah bila dibandingkan dengan biaya kerugian dan perbaikan akibat bencana hidrometeorolog basah (banjir, longsor) yang terus mengintai kota-kota di seluruh Nusantara.

Melalui tulisan ini saya mengajak, agar para pemimpin daerah, terutama di perkotaan, untuk mulai memikirkan investasi perbaikan alam, dimulai dengan langkah sederhana: taman kecamatan atau kelurahan, menjaga sempadan sungai dan merawat daerah tangkapan air, dan daerah aliran air – sungai.

Mari kita jaga daerah tangkapan air kita, jaga sempadan sungai kita, dan jaga daerah hulu-tengah-hilir sungai, jangan cemari, jangan rusak. Mari kita jaga sungai di sekitar kita sebagai langkah sederhana merawat infrastruktur dasar alami pengairan dan sumber air baku, sarana transportasi, energi terbarukan, dan aliran air untuk menjaga kualitas hidup (well-being) masyarakat di desa dan di kota.

*Irwan Fecho* – (Ketua Umum Pengurus Pusat IKA SKMA – Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan