Reformasi Sistem Perpajakan dan Pertumbuhan Ekonomi

by
Agus Widjadjanto SH Praktisi Hukum. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto*

SESUAI Pembukaan UUD 1945, hingga diterapkannya pasal-pasal pada konstitusi kita, para pendiri bangsa (Founding Fathers) mengonsep berdirinya negara ini untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bersama bagi masyarakat sebagaimana sebuah negara merdeka saat itu. Namun, dalam perkembangannya, meski telah merdeka selama 80 tahun, banyak masyarakat belum bisa menikmati kemerdekaan sejati. Mereka masih hidup dalam kesulitan ekonomi. Belum lagi di era modern saat ini, dengan pasar bebas dan sistem liberalis, segala hal dikenakan pajak hingga masyarakat merasa terbebani. Hal ini tentu berakibat sangat sulit untuk keluar dari kesulitan ekonomi, bahkan justru menambah beban baru.

Banyak negara berkembang menghadapi persoalan fiskal. Problem klasik bukan hanya bagaimana negara menarik pajak, melainkan juga bagaimana pemerintah menggunakan uang rakyat. Pajak sejatinya adalah amanah, dana publik yang seharusnya dialokasikan secara bijak untuk pembangunan, pelayanan masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan. Namun, problem yang kerap dihadapi negara-negara berkembang adalah pengeluaran yang tidak terkendali, pemborosan, dan bahkan sarat korupsi. Dalam pembiayaan pembangunan yang tidak memiliki blueprint jangka pendek, menengah, maupun panjang seperti dalam GBHN, beban ekonomi justru semakin berat. Setiap aktivitas kehidupan terkena dampak pajak: makan di restoran bahkan warteg, belanja bahan pokok, rokok dengan cukai tinggi, belanja di supermarket, kebutuhan primer dan sekunder, kendaraan bermotor, mobil, rumah (PBB), PPh, biaya pendidikan, bahkan pulsa telepon. Selain itu, masyarakat juga dikenakan pajak penghasilan baik dari gaji maupun usaha setiap tahun. Hal ini terasa sebagai pajak berganda yang membuat masyarakat kesulitan bertumbuh secara ekonomi.

Ya, pajak yang terlampau memberatkan dapat mematikan pertumbuhan ekonomi rakyat. Berikut beberapa alasan mengapa demikian:

Mengurangi Konsumsi

  • Mengurangi Kemampuan Membeli: Pajak yang tinggi mengurangi kemampuan membeli masyarakat, sehingga konsumsi dan permintaan barang serta jasa menurun.

Menghambat Pertumbuhan Usaha

  • Mengurangi Laba Usaha: Pajak yang tinggi mengurangi laba usaha, sehingga kemampuan usaha untuk berkembang ikut berkurang.
  • Bagi dunia usaha di bidang jasa, hal ini justru memicu kebangkrutan yang dapat mematikan sumber hidup puluhan keluarga. Tentu hal ini bertentangan dengan UUD 1945, di mana negara harus menjamin penghidupan yang layak bagi rakyatnya.

Dampak pada Perekonomian

  • Mengurangi Pertumbuhan Ekonomi: Pajak yang terlampau memberatkan mengurangi konsumsi, investasi, dan inovasi.
  • Meningkatkan Kemiskinan: Pajak yang terlalu tinggi meningkatkan kemiskinan karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Solusi

  • Pajak yang Adil dan Proporsional: Pajak harus dikenakan secara adil dan proporsional, agar tidak memberatkan masyarakat dan usaha.
  • Pengenaan Pajak yang Efektif: Pajak harus efektif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.

Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak lebih dipacu untuk mengejar target penerimaan negara tanpa mempertimbangkan situasi sosiologi dan kondisi ekonomi masyarakat. Ibarat kuda dengan kacamata, hanya melihat data tanpa mempelajari sebab dan akibat. Hal ini berakibat pada matinya kehidupan ekonomi keluarga wajib pajak.

Oleh karena itu, perlu dipahami ilmu sosiologi dan psikologi, agar tidak sekadar pandai berhitung angka, tetapi mati nurani seperti robot yang dikendalikan tuannya. Jika hal ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan terjadi ledakan revolusi sosial yang lebih besar.

Perlu digarisbawahi, pajak yang terlampau memberatkan dapat mematikan pertumbuhan ekonomi rakyat. Karena itu, reformasi pajak penting dilakukan, dengan tujuan meningkatkan keadilan dan efektivitas sistem perpajakan. Reformasi juga harus dilakukan melalui pendekatan sosial kemasyarakatan. Sejarah menunjukkan, peperangan besar kerap dipicu oleh pajak yang berat, misalnya perlawanan kaum Samin, Perang Jawa (Pangeran Diponegoro), dan berbagai perlawanan lain pada masa kolonial Belanda.

Kita bisa belajar dari India, negara berpenduduk terbesar kedua di dunia. Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman, dengan lantang mengumumkan pemangkasan pajak, membuat rakyatnya bersorak. Bayangkan, pasta gigi, sabun, sampo—barang yang setiap pagi digunakan rakyat—turun pajaknya dari 18% menjadi 5%. Mobil kecil dipotong tarifnya, bahkan asuransi jiwa dibebaskan. Alasannya sederhana: agar rakyat bisa bernapas, konsumsi naik, ekonomi bergerak.

Sementara di belahan Asia lain, Indonesia justru seakan melakukan eksperimen: menguji seberapa sabar rakyat jika pajak terus dinaikkan, sementara pelayanan publik tetap pas-pasan. India rela kehilangan 480 miliar rupee demi pertumbuhan konsumsi, Indonesia justru mempertaruhkan kesabaran rakyat demi penerimaan APBN.

Jika India menyederhanakan lapisan tarif GST dari empat menjadi dua, Indonesia justru menambah lapisan: lapisan pajak, lapisan aturan, lapisan pungutan, hingga lapisan senyum pejabat pajak. Bedanya, lapisan ini bukan memudahkan, melainkan membuat rakyat seperti bawang bombay—dikupas hingga habis air matanya.

Ekonom India optimistis konsumsi akan melonjak, defisit tidak signifikan. Ekonom Indonesia juga optimistis—optimistis bahwa rakyat tidak akan kabur ke mana-mana, karena tidak ada negara lain yang bisa mereka pungut.

Di India, pajak dikurangi bertepatan dengan festival Navratri, sebagai hadiah untuk rakyat. Di Indonesia, pajak dinaikkan setiap kali APBN megap-megap, sebagai hadiah bagi investor obligasi.

Maka, bila India menulis judul berita: “Sabun, Pasta Gigi, dan Asuransi Kini Lebih Murah”, Indonesia bisa menulis: “Kreativitas Pajak Baru: Dari Napas Hingga Keringat Akan Dikenai Tarif Progresif”.

Akhirnya, kita sadar: di negeri tetangga, pajak menjadi alat pertumbuhan. Di negeri sendiri, pajak jadi alat pertunjukan—bagaimana penerimaan bisa terus rendah meski tarif makin tinggi.

Karena itu, paradigma pajak harus diubah menjadi kontrak sosial antara negara dan rakyat. Sejarah mencatat, masalah pajak bisa memicu instabilitas negara. Maka, pajak harus dipandang dari sudut rasa keadilan masyarakat, demi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bersama, bukan beban yang memberatkan.

Pajak sebagai Kontrak Sosial

  • Kesepakatan Implisit: Warga negara setuju membayar pajak, pemerintah bertanggung jawab menggunakannya secara efektif.
  • Timbal Balik: Warga membayar pajak, pemerintah memberi layanan publik yang berkualitas.

Manfaat Kontrak Sosial

  • Kesadaran Pajak: Warga paham bahwa pajak membiayai layanan publik.
  • Pengawasan: Warga dapat memantau agar pajak digunakan secara efektif dan transparan.

Implikasi

  • Pemerintah Bertanggung Jawab: Mengelola pajak dengan transparansi dan layanan publik yang baik.
  • Warga Negara Aktif: Memantau penggunaan pajak dan memastikan keadilannya.

Penting ditekankan, disiplin anggaran dan efisiensi birokrasi harus ditegakkan untuk menekan korupsi. Banyak negara berkembang terjebak defisit akibat belanja tidak produktif dan sistem perpajakan yang rumit. Alih-alih memperbaiki manajemen keuangan, solusi instan berupa menaikkan pajak dan menambah utang luar negeri sering dipilih. Akibatnya, beban bunga utang ditutup dengan mengejar setoran pajak dari rakyat, tanpa memahami akar masalah.

Kepercayaan masyarakat kepada negara sangat bergantung pada rasa keadilan. Rakyat mau membayar pajak jika yakin ada pertumbuhan ekonomi dan dana pajak digunakan dengan benar. Sebaliknya, rakyat akan keberatan bila pajak digunakan untuk proyek sia-sia dan korup.

Pertumbuhan ekonomi masyarakat dapat dipengaruhi oleh beban pajak. Jika pajak tidak memberatkan, masyarakat dan pelaku usaha bisa tumbuh.

  • Insentif Investasi: Pajak ringan memberi dorongan investasi.
  • Peningkatan Produktivitas: Pajak ringan memungkinkan masyarakat meningkatkan efisiensi.
  • Stabilitas Pendapatan: Kesadaran pajak membantu pemerintah menjaga pendapatan stabil.
  • Keadilan: Pajak adil meningkatkan rasa keadilan sosial.

Dengan demikian, beban pajak yang tidak memberatkan dan kesadaran pajak yang stabil dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Ronald Reagan, Presiden AS ke-40, dikenal dengan pandangannya tentang pajak. Ia percaya pajak yang tinggi dapat memberatkan rakyat dan menghambat ekonomi.

Kebijakan Pajak Reagan

  • Pengurangan Pajak: Pada 1981, Reagan meluncurkan Economic Recovery Tax Act (ERTA) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
  • Supply-Side Economics: Ia percaya pengurangan pajak memberi insentif bagi produsen dan investor.

Dampak Kebijakan Reagan

  • Pertumbuhan Ekonomi: AS mengalami pertumbuhan pada 1980-an.
  • Kritik: Namun, kebijakan itu juga meningkatkan kesenjangan ekonomi dan menurunkan pendapatan negara.

Dengan demikian, Reagan percaya pajak tinggi menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat.

Pajak memiliki peran penting sebagai penerimaan negara. Dampaknya berbeda-beda tergantung bagaimana ia dirancang dan digunakan.

  • Sumber Pendapatan: Pajak membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, keamanan.
  • Kesejahteraan: Pajak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat layanan publik.
  • Beban: Jika tidak adil, pajak jadi beban, terutama bagi pendapatan rendah.
  • Keadilan: Pajak progresif dapat mengurangi kesenjangan.

Karena itu, sistem pajak harus adil, efektif, dan transparan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membiayai kegiatan negara secara bermanfaat.


** Penulis adalah praktisi hukum dan pemerhati masalah sosial budaya serta sejarah bangsanya.