Ekonomi Berkeadilan Prabowo: Jalan Panjang Menutup Jurang Ketimpangan

by
Anggota DPD RI dari Sumbar, Irman Gusman. (Foto: Istimewa)

Oleh: Irman Gusman (Senator dari Sumatera Barat, mantan Ketua DPD RI)

PIDATO Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR RI dan pengantar Nota Keuangan-RAPBN 2026 kemarin, menyisakan satu pesan kuat, yakni membangun ekonomi Indonesia yang berkeadilan.

Dengan tegas, Prabowo kembali mengutip Pasal 33 UUD 1945, yang disebutnya sebagai “pasal pengaman” bahwa perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, bukan konglomerasi. Sebuah pesan yang relevan, di tengah jurang ketimpangan yang semakin menganga.

Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi kita memang stabil di kisaran 5 persen. Namun, pertumbuhan itu tidak otomatis menghadirkan pemerataan. Rasio gini, indikator ketimpangan, justru naik dari 0,31 pada 1998 menjadi 0,37 hari ini.

Hasil riset Celios (2024) bahkan lebih mencengangkan: kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 50 juta warga biasa. Fakta ini diperkuat oleh data BPS triwulan II 2025, yang menyebutkan ekonomi tumbuh 5,12 persen, tetapi pendapatan masyarakat naik kurang dari 2 persen. Di sisi lain, kekayaan segelintir elit melesat triliunan rupiah hanya dalam setahun.

Kesenjangan yang terus melebar ini jelas bukan sekadar angka statistik. Ia nyata dalam keseharian: kelas menengah yang kian tergerus oleh biaya hidup, stagnasi pendapatan, dan maraknya PHK.

Lebih jauh, ketimpangan itu juga tercermin dalam penguasaan lahan. Mayoritas petani Indonesia hanya memiliki tanah 0,3 hektar, sementara ada satu keluarga yang menguasai 1,8 juta hektar lahan. Ironi di negeri agraris.

Tak Akan Berakhir Jika Tak Diakhiri

Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel, pernah mengatakan: ketimpangan pada dasarnya adalah hasil kebijakan pemerintah, baik karena kebijakan yang dibuat, maupun yang tidak dibuat. Artinya, jurang ketidakadilan ini hanya bisa diakhiri jika ada keberanian politik untuk benar-benar mengakhirinya.

Prabowo telah berjanji membenahi sistem ekonomi yang lama memicu kebocoran dan ketimpangan. Namun janji saja tidak cukup. Dibutuhkan langkah strategis dan keberanian mengambil keputusan besar.

Ada tiga hal mendesak yang harus segera ditempuh:

Pertama, kembali ke roh Pasal 33 UUD 1945. Demokrasi ekonomi harus diwujudkan melalui penguatan koperasi, UMKM, dan kewirausahaan rakyat. Sebab, di tangan 65 juta unit UMKM—yang menyerap mayoritas tenaga kerja—terletak kunci pemerataan. UMKM harus naik kelas, bahkan menembus pasar global.

Langkah pemerintah membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih di nagari, desa, dan kelurahan perlu diapresiasi. Namun itu baru pintu masuk. Tantangannya adalah menjadikannya motor ekonomi rakyat, bukan sekadar angka di atas kertas.

Kedua, reformasi fiskal progresif. Pajak yang adil bagi super kaya adalah keniscayaan. Swedia, Belgia, dan Finlandia sudah membuktikan bahwa pajak progresif mampu memangkas ketimpangan hampir separuhnya. Indonesia bisa meniru.

Celios (2025) memperkirakan, pajak kekayaan 2 persen saja pada 50 orang terkaya mampu menghasilkan Rp 81,56 triliun per tahun. Angka yang bisa dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan rakyat. Sayangnya, isu pajak progresif belum muncul dalam RAPBN 2026.

Ketiga, keberpihakan pada petani dan nelayan. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap lebih dari 28 persen tenaga kerja. Tapi petani dan nelayan masih hidup pas-pasan. Prabowo telah menjanjikan pembangunan 1.100 desa nelayan dengan melibatkan 10 juta orang. Janji ini harus dikawal agar benar-benar terwujud, bukan berhenti di panggung politik.

Menyemai Harapan, Menagih Janji

Ekonomi yang berkeadilan bukanlah utopia. Ia bisa diwujudkan jika negara hadir dengan keberanian politik yang kuat. Keberhasilan pembangunan tidak cukup diukur dari angka pertumbuhan atau turunnya kemiskinan ekstrem. Ukuran sejati adalah pemerataan—apakah rakyat kecil di desa, di pasar, di sawah, di laut, merasakan perubahan nyata.

Prabowo telah menyalakan “obor harapan” lewat pidatonya. Kini tinggal menunggu, apakah obor itu akan dijaga nyalanya dengan langkah nyata, atau sekadar menjadi retorika sesaat.

Indonesia merdeka sejati hanya jika rakyatnya sejahtera. Ekonomi tangguh dan mandiri bukan slogan, melainkan kenyataan di meja makan keluarga, di ladang para petani, dan di pabrik tempat buruh bekerja.

Merdeka ekonomi bukan sekadar cita-cita, tapi kewajiban sejarah yang harus diwujudkan sekarang juga. ***