BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Alhabsyi, menggelar forum diskusi mendalam terkait pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Forum tersebut berlangsung di Ruang Pleno Fraksi PKS, Lantai 3, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin kemarin (28/7/2025).
Diskusi yang berlangsung selama dua hari ini menghadirkan sejumlah praktisi hukum, termasuk perwakilan dari YLBHI, ICJR, LBH Gema Keadilan, serta utusan DPP PKS dari bidang politik hukum dan legislasi.
Dalam sambutannya, Habib Aboe –sapaan akrab Aboe Bakar Alhabsyi, menegaskan bahwa revisi KUHAP bukan sekadar perubahan administratif, melainkan pembaruan menyeluruh terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Revisi KUHAP ini bukan hanya soal koreksi redaksional. Kita ingin menyusun usulan substantif yang berangkat dari pengalaman nyata masyarakat terhadap praktik hukum yang kadang timpang—mulai dari penangkapan sewenang-wenang hingga keterlambatan keadilan,” ujar Habib Aboe.
Ia juga menekankan bahwa pembaruan KUHAP harus mampu menjawab persoalan fundamental, seperti batas waktu yang ketat dalam penahanan dan penyidikan, hingga mekanisme akuntabilitas bagi aparat penegak hukum.
“Kita harus pastikan setiap warga negara mendapatkan perlindungan hukum, bukan justru merasa terancam. KUHAP yang baru harus menjamin hak atas pendampingan hukum sejak awal proses penegakan hukum,” imbuhnya.
Habib Aboe juga mendorong agar prinsip hak asasi manusia (HAM) dan keadilan restoratif menjadi fondasi dalam setiap pasal RUU KUHAP. Menurutnya, norma-norma dalam KUHAP seharusnya sejalan dengan konstitusi dan instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Kita ingin KUHAP baru ini mampu memberi perlindungan tidak hanya bagi tersangka dan korban, tapi juga saksi serta kelompok rentan lainnya,” ucapnya lagi.
Lebih jauh, politisi asal Dapil Kalimantan Selatan (Kalsel) I itu menekankan pentingnya membuka ruang penerapan keadilan restoratif, termasuk pada tahap praperadilan, terutama bagi kasus-kasus yang memungkinkan penyelesaian melalui pemulihan sosial dibanding penghukuman. Untuk itu, ia berharap FGD selama dua hari ini dapat menghasilkan rumusan normatif yang konkret dan berpihak pada keadilan.
“Revisi KUHAP bukan pekerjaan biasa. Ini akan menjadi warisan hukum yang akan menentukan wajah keadilan Indonesia ke depan. Maka kontribusi dari para pakar dan masyarakat sipil sangat menentukan keberhasilan legislasi ini,” pungkas Habib Aboe. (Ery)