Perilaku Blind Obedience dalam Berbagai Dimensi Sosial

by
Agus Widjadjanto, SH., pengacara dan pemerhati hukum. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto*

BANYAK kasus dan fenomena sosial di masyarakat, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam penegakan hukum di negara berkembang—tidak terkecuali di Indonesia—telah terjadi kepatuhan yang absolut terhadap atasan yang berakibat merusak tatanan sosial. Salah satu contohnya adalah fenomena dalam penegakan hukum oleh aparat hukum. Kerap terjadi, para penegak hukum di lapangan mendapatkan instruksi atasan untuk melakukan tindakan hukum sesuai dengan kemauan dari atasan. Dalam situasi ini, bawahan tidak lagi mempunyai keleluasaan untuk memutuskan secara mandiri dan independen sesuai kapasitas tugasnya, yang berakibat dan menimbulkan ketidakadilan serta akibat berantai yang menghancurkan tatanan sosial dalam masyarakat sebagai negara hukum.

Blind obedience adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku seseorang yang mematuhi perintah atau aturan tanpa mempertanyakan atau memikirkan konsekuensinya. Dengan kata lain, blind obedience terjadi ketika seseorang mematuhi perintah hanya karena perintah itu diberikan oleh seseorang yang berwenang, tanpa mempertimbangkan apakah perintah itu benar atau salah.

Penjelasan lebih lanjut tentang blind obedience dapat ditemukan dalam teori psikologi sosial, khususnya dalam konsep obedience yang dikembangkan oleh psikolog Stanley Milgram.

Stanley Milgram melakukan eksperimen terkenal pada tahun 1960-an yang menunjukkan bahwa orang-orang cenderung mematuhi perintah dari seseorang yang berwenang, bahkan jika perintah itu bertentangan dengan nilai-nilai moral mereka. Dalam eksperimen tersebut, Milgram menemukan bahwa sekitar 65% orang yang menjadi subjek eksperimen mematuhi perintah untuk memberikan sengatan listrik kepada orang lain, bahkan ketika mereka tahu bahwa sengatan listrik tersebut dapat menyebabkan cedera serius atau bahkan kematian.

Milgram menjelaskan bahwa blind obedience dapat terjadi karena beberapa faktor, termasuk:

  1. Kekuasaan: Orang-orang cenderung mematuhi perintah dari seseorang yang berwenang karena mereka percaya bahwa orang tersebut memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah.
  2. Kepatuhan: Orang-orang cenderung mematuhi perintah karena mereka telah diajarkan untuk mematuhi aturan dan perintah sejak kecil.
  3. Kekurangan informasi: Orang-orang cenderung mematuhi perintah karena mereka tidak memiliki informasi yang cukup untuk mempertanyakan atau memikirkan konsekuensinya.

Dalam konteks yang lebih luas, blind obedience dapat memiliki konsekuensi yang serius, seperti:

  1. Pelanggaran hak asasi manusia: Blind obedience dapat menyebabkan orang-orang mematuhi perintah yang melanggar hak asasi manusia, seperti perintah untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi.
  2. Kehilangan otonomi: Blind obedience dapat menyebabkan orang-orang kehilangan otonomi dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri.
  3. Ketergantungan pada otoritas: Blind obedience dapat menyebabkan orang-orang terlalu bergantung pada otoritas dan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis serta membuat keputusan sendiri.

Dalam kesimpulan, blind obedience adalah perilaku yang dapat memiliki konsekuensi serius. Penting bagi kita untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan perilaku ini dan berusaha mengembangkan kemampuan berpikir kritis serta membuat keputusan secara mandiri.

Dalam Dunia Militer

Blind obedience dalam militer dunia merujuk pada kepatuhan tanpa syarat terhadap perintah atasan, tanpa mempertanyakan atau mempertimbangkan implikasi moral atau etis dari perintah tersebut. Berikut beberapa aspek tentang blind obedience dalam militer:

Pentingnya disiplin:

  1. Kepatuhan terhadap perintah: Dalam militer, kepatuhan terhadap perintah atasan sangat penting untuk menjaga disiplin dan memastikan keberhasilan misi.
  2. Struktur hierarki: Struktur hierarki dalam militer memerlukan kepatuhan terhadap perintah atasan untuk menjaga ketertiban dan efisiensi.

Risiko blind obedience:

  1. Kekerasan dan pelanggaran HAM: Blind obedience dapat menyebabkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia jika perintah atasan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
  2. Kehilangan akuntabilitas: Blind obedience dapat menghilangkan akuntabilitas individu dalam militer, karena mereka tidak mempertanyakan perintah atasan.

Contoh kasus:

  1. Kasus My Lai: Selama Perang Vietnam, kasus My Lai menunjukkan bagaimana blind obedience dapat menyebabkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
  2. Kasus Abu Ghraib: Kasus penyiksaan tahanan di Abu Ghraib juga menunjukkan bagaimana blind obedience dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

Pencegahan dan penanggulangan:

  1. Pendidikan dan pelatihan: Pendidikan dan pelatihan tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter dapat membantu mencegah blind obedience yang tidak etis.
  2. Mekanisme pengawasan: Mekanisme pengawasan dan akuntabilitas dapat membantu mencegah dan menanggulangi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam militer, penting untuk menyeimbangkan antara kepatuhan terhadap perintah atasan dengan pertimbangan moral dan etis. Blind obedience yang tidak etis dapat menyebabkan kerusakan besar pada individu dan masyarakat.

Dalam Dunia Bisnis

Blind obedience pada karyawan di perusahaan manajemen keluarga dapat menghambat manajemen secara profesional dalam beberapa cara:

Kekurangan objektivitas:

  1. Pengambilan keputusan tidak objektif: Karyawan yang memiliki blind obedience terhadap keluarga pemilik perusahaan mungkin tidak berani memberikan pendapat atau saran yang tidak sesuai dengan keinginan keluarga, sehingga pengambilan keputusan tidak objektif.
  2. Kurangnya inovasi: Blind obedience dapat menghambat inovasi dan kreativitas karena karyawan tidak berani memberikan ide-ide baru yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan keluarga.

Ketergantungan pada keluarga:

  1. Ketergantungan pada keputusan keluarga: Karyawan yang memiliki blind obedience terhadap keluarga pemilik perusahaan mungkin terlalu bergantung pada keputusan keluarga, sehingga tidak dapat mengambil keputusan sendiri.
  2. Kurangnya inisiatif: Blind obedience dapat menghambat inisiatif dan kemampuan karyawan untuk mengambil keputusan dan bertindak secara mandiri.

Penghambatan profesionalisme:

  1. Kurangnya standar profesional: Blind obedience dapat menghambat penerapan standar profesional dalam perusahaan, karena keputusan dan tindakan lebih banyak dipengaruhi oleh keinginan keluarga daripada standar profesional.
  2. Kurangnya akuntabilitas: Blind obedience dapat menghambat akuntabilitas dalam perusahaan karena karyawan tidak berani mempertanyakan keputusan keluarga.

Solusi:

  1. Membangun budaya profesional: Perusahaan harus membangun budaya profesional yang mendorong objektivitas, inovasi, dan akuntabilitas.
  2. Pengembangan karyawan: Perusahaan harus memberikan pelatihan dan pengembangan kepada karyawan untuk meningkatkan kemampuan dan inisiatif mereka.
  3. Mekanisme pengawasan: Perusahaan harus memiliki mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa keputusan dan tindakan sesuai dengan standar profesional.

Dengan demikian, perusahaan dapat meningkatkan profesionalisme dan mengurangi dampak negatif dari blind obedience. ***

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial, budaya, politik, hukum, dan sejarah bangsanya.