BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketegangan geopolitik yang terus meningkat antara Iran dan Israel, serta intervensi Amerika Serikat (AS) di kawasan tersebut, dinilai dapat memicu gejolak harga minyak global. Untuk itu, Komisi XI DPR RI, memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) berisiko mengganggu stabilitas fiskal dan subsidi energi jika pemerintah tidak menyiapkan langkah antisipatif.
Menanggapi hal tersebut, konsultan keuangan Asep Dahlan melalui keterangan tertulisnya, Senin (30/6/2025) menilai bahwa tantangan terbesar pemerintah bukan semata pada harga minyak, tetapi pada bagaimana merancang kebijakan subsidi yang fleksibel, adaptif, dan komunikatif di tengah tekanan global.
Karena, menurut dia, ketika harga minyak naik drastis, yang paling terdampak adalah masyarakat berpendapatan rendah. Maka, strategi subsidi tidak bisa lagi satu arah.
“Pemerintah perlu menerapkan sistem subsidi berbasis data yang lebih akurat, misalnya lewat bantuan langsung tunai (BLT) atau skema kompensasi non-tunai yang ditujukan secara tepat sasaran,” jelas Asep Dahlan.
Menurutnya, kebijakan fiskal yang responsif bukan hanya menjaga angka inflasi, tapi juga memastikan kepercayaan publik terhadap kredibilitas anggaran tetap terjaga.
“Transparansi dan kesiapan dalam menyampaikan skenario subsidi akan membantu menstabilkan ekspektasi publik. Bila perlu, pemerintah perlu membuat simulasi terbuka agar masyarakat bisa memahami arah kebijakan yang akan ditempuh,” tambahnya lagi.
Di tengah ketidakpastian global tersebut, Asep Dahlan sepakat bahwa sinergi antarlembaga dalam menyusun strategi fiskal adaptif adalah keharusan.
“Ekonomi nasional hanya bisa bertahan bila kebijakan fiskalnya dirancang dengan data yang presisi, komunikasi publik yang kuat, dan keberpihakan yang jelas pada kelompok rentan,” tutup pendiri Dahlan Consultant, yang akrab disapa Kang Dahlan tersebut.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan, dalam APBN 2025, ICP dipatok sebesar 82 dolar per barel. Saat ini masih di bawah asumsi, di kisaran 75 hingga 79 dolar.
“Tapi jika konflik bereskalasi, kita harus siap dengan skenario pengurangan subsidi BBM dan skema kompensasi bagi masyarakat miskin,” ujar polisi Golkar itu, sembari menambahkan kalau pemerintah belum perlu menambah pembiayaan selama harga minyak berada di bawah batas asumsi.
Namun bila ICP menembus angka 90 hingga 100 dolar, maka opsi kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 10 persen bisa dipertimbangkan sebagai langkah jangka pendek, meskipun berdampak terhadap inflasi. (Ery)