Menyongsong Kedatangan Zaman dan Peradaban Baru Menjelang Tahun 2030

by
Candi Prambanan. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto*

Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, telah lama memperingatkan tentang perubahan besar dalam tatanan dunia melalui bukunya The Changing World Order. Ramalannya menunjukkan tanda-tanda menjadi kenyataan: dominasi Amerika Serikat semakin memudar, sementara kekuatan baru seperti Tiongkok dan Kawasan Indo-Pasifik muncul.

Dalio menjelaskan bahwa kekuatan besar dunia selalu mengalami siklus kekuasaan. Sejak era Romawi, setiap imperium bangkit melalui inovasi dan kekuatan ekonomi, mencapai puncak dengan dominasi militer-ekonomi, lalu melemah akibat konflik internal, utang berlebih, korupsi, dan ketimpangan sosial. Menurutnya, AS kini berada di fase akhir siklus tersebut—ketegangan politik dan ketimpangan ekonomi memburuk, negara-negara mulai meninggalkan dolar dalam transaksi internasional, dan potensi peperangan memicu ketegangan global. Masyarakat dunia, lanjut Dalio, perlu mempelajari sejarah siklus dominasi ini.

Siklus Kebangkitan dan Kejatuhan Nusantara

Dalam konteks Nusantara, siklus 400 tahun Cokromanggilingan menguraikan pola serupa, baik dalam kekuasaan negara maupun kehidupan pribadi. Keyakinan Jawa berdasarkan Serat Jangka Jayabaya (ditulis pujangga Ronggowarsito) meramalkan datangnya zaman baru setelah Jaman Kala Bendu (zaman ketidakpastian atau “edan”). Ramalan ini dikaitkan dengan keruntuhan Majapahit di bawah Prabu Brawijaya Kertabumi, yang melibatkan tokoh spiritual Sabdo Palon Naya Genggong.

Dalam jurnal Manuskrip Nusantara (GPH. Dipokusumo), Sabdo Palon disebut sebagai penasihat Brawijaya yang terlibat dialog politik dengan para wali, termasuk Sunan Kalijaga. Sabdo Palon mewakili kepercayaan turun-temurun pra-kerajaan Nusantara dan meramalkan paradigma baru dalam kepercayaan yang berdampak luas pada masyarakat.

Peri Mardiyono dalam Sejarah Kelam Majapahit mengutip sabda Sabdo Palon:

Pepesthene Nusa Tekan Janji, Yen Wus Jangkep Limang Atus Warso, kepetung jaman Majapahit ambruk, musno Bali matang ingsun, Gami Budi Madeg Sawiji.”

(Takdir Nusa sampai pada janji, jika sudah genap lima ratus tahun sejak jatuhnya Majapahit, musnah kembali padaku, Budi [ajaran luhur] yang berdiri satu).

Ramalan ini diyakini sebagian masyarakat Jawa, terutama setelah bencana seperti letusan Semeru/Merapi dan tsunami sesuai syair Jayabaya:

Hardi Agung Serya” (Gunung berapi semua, huru-hara mengerikan, menggelegar suaranya… manusia banyak tewas, kerbau-sapi habis…)

Sabdo Palon: Makna dan Visualisasi

Sabdo Palon kerap disalahpahami sebagai Semar (Ismaya). Padahal, ia adalah perwujudan empat tokoh: SABDO (Semar), PALON (Gareng), NOYO (Petruk), dan GENGGONG (Bagong). Visualisasi ini diciptakan Sunan Kalijaga melalui tokoh punakawan dalam wayang, sebagai simbolisasi bijak dari dunia astral.

Fenomena Spiritual Global

Di Barat, muncul paham Deisme dan Pantheisme (dipelopori Bertrand Russell) yang meyakini Tuhan tanpa terikat dogma agama—respons atas politisasi agama yang mengikis nilai kemanusiaan.

Akar Kepercayaan Nusantara: Kapitayan

Sebelum agama besar masuk, masyarakat Jawa menganut Kapitayan—kepercayaan akan Sang Hyang Taya (Yang Kosong/Maha Gaib), esensi ketuhanan yang mirip dengan konsep Tuhan dalam agama Samawi. Tuhan dalam Kapitayan bersifat “Tan Keno Kinoyo Ngopo” (tak tergambarkan, gaib, namun hadir).

Agama ini dibawa Dang Hyang Semar (keturunan Sang Hyang Ismaya dari peradaban Lemuria). Pusat peradaban diperkirakan di Muria (Jawa Tengah) hingga Priangan (Jawa Barat), terkait teori Sundaland (Stephen Oppenheimer, 1998) bahwa Jawa-Sumatera-Kalimantan-Bali dahulu menyatu sebelum tenggelam pada masa pencairan es.

Kapitayan dan Islam Jawa

Kesamaan esensi Tuhan (Suwung/Kosong dalam Kapitayan dan Allah Yang Gaib dalam Islam) memudahkan penyebaran Islam di Jawa. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti (Syekh Siti Jenar, Ronggowarsito) adalah sintesis Kapitayan dan tasawuf Islam. Kejawen pun lahir sebagai praktik spiritual inklusif (Islam, Kristen, Hindu, Buddha) yang berakar pada filosofi Jawa.

Filosofi ini diimplementasikan Orde Baru: Soeharto (Semar/Ismaya) sebagai pengayom, Ismail Saleh (Gareng/Menkeh), Ali Said (Petruk/Jaksa Agung), dan Moejono (Bagong/Ketua MA).

Ramalan Agama Budi dan Relevansinya

Ramalan Jayabaya tentang “Agama Budi bersenjatakan Trisula Wedha” mengisyaratkan penyatuan hati, ucapan, dan tindakan berbudi luhur (*Tri Luhur*). Kritik utama adalah kegagalan mentransformasikan akidah-ritual (ibadah mahdhah) menjadi akhlak dalam muamalah (hubungan sosial).

Filsafat Penyatuan: Sungai dan Samudera

Jalaluddin Rumi (Fihi Ma Fihi) mengingatkan:

“Agama takkan bersatu di dunia karena politisasi. Penyatuan hanya mungkin di akhirat di bawah pengadilan Allah.”

Rumi menyamakan agama dengan sungai yang semua bermuara ke samudera yang sama (hakikat Ketuhanan). Esensi ini terangkum dalam Pancasila Sila Pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai samudera pemersatu kepercayaan di Indonesia (Den ajembar, den momot, lawan den wengku, den koyo segoro).

Penutup

Filosofi padi (semakin berisi semakin merunduk) mengajarkan kerendahan hati sebagai hamba Tuhan. Esensi hidup adalah pengabdian pada kemanusiaan dan alam semesta, sesuai prinsip sejatining urip.

“Sangkan paraning dumadi” (dari mana datangnya hidup),

“Urip iku ngapa” (untuk apa hidup),

“Menyang endi” (ke mana setelah mati).

Peradaban Nusantara yang agung (sejak Lemuria, Kapitayan, hingga sintesis Kejawen) membuktikan bangsa ini bukan “penyembah berhala primitif”, melainkan pemilik tradisi luhur yang relevan hingga kini.

* Penulis adalah Praktisi hukum dan pemerhati sosial-budaya, politik, serta hukum. Tinggal di Jakarta.