Status Geopark Toba Terancam Dicabut, Sanggam Hutapea Desak Pemerintah Jadikan Tata Kelola Prioritas Nasional

by
Sanggam Hutapea, pemerhati pariwisata. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA — Ancaman pencabutan status UNESCO Global Geopark Kaldera Toba tinggal menghitung hari. Menyusul ‘kartu kuning’ yang dikeluarkan UNESCO pada 2023, tim asesor dijadwalkan kembali mengunjungi kawasan Danau Toba pada 20–25 Juli 2025 untuk melakukan revalidasi. Jika tak ada perbaikan signifikan, status prestisius itu terancam lenyap.

Pemerhati pariwisata dan budaya, Ir. Sanggam Hutapea, MM, melalui siaran persnya, Sabtu (7/6/2025) mendesak pemerintah pusat agar menjadikan perbaikan tata kelola kawasan Geopark Kaldera Toba sebagai agenda prioritas nasional.

“Waktunya hanya sebulan lagi. Pemerintah harus bergerak cepat dan serius. Ini bukan isu sektoral, tapi menyangkut citra Indonesia di mata dunia,” tegasnya.

Menurut Sanggam, koordinasi lintas kementerian harus diperkuat, terutama antara Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata. Ia mengkritisi minimnya pelibatan Kementerian Kebudayaan dalam upaya pembenahan, padahal kementerian itu merupakan salah satu pemangku utama dalam pelestarian warisan budaya.

“Presiden Prabowo harus segera menunjuk menteri koordinator yang bisa memimpin gerakan nasional ini. Tanpa kendali yang terpusat dan efektif, risiko kegagalan sangat tinggi,” ujarnya lagi.

Ancaman Nyata bagi Pariwisata dan Ekonomi

Jika status Geopark dicabut, dampaknya akan meluas ke sektor pariwisata, ekonomi lokal, dan reputasi Indonesia di kancah internasional. Untuk itu, kata Sanggam, setiap kementerian harus berkontribusi nyata, tidak hanya seremonial.

“Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan harus bekerja bersama, bukan jalan sendiri-sendiri. Satu mengembangkan wisata, satu menjaga warisan budaya. Tanpa kolaborasi, tujuan besar akan sulit dicapai,” tambahnya.

Sanggam juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal. Menurutnya, keberhasilan Bali dalam membangun pariwisata tak lepas dari peran masyarakat adat yang aktif dan kuat.

“Di Bali, awig-awig (hukum adat) menjadi panduan utama. Setiap banjar adat berperan dalam pengelolaan pariwisata, sehingga kegiatan budaya hidup setiap hari,” jelasnya.

Ia mengusulkan agar kawasan Danau Toba juga rutin menggelar atraksi budaya seperti Mangalahat Horbo, Tunggal Panaluan Martumba, dan Sipaha Lima, untuk memperkuat identitas lokal dan menarik wisatawan.

“Kalau dijadwalkan bergilir antar wilayah, maka Danau Toba bisa punya kalender budaya yang hidup, seperti di Bali,” imbuhnya.

Peraturan Adat Perlu Didukung Regulasi Formal

Disisi lain, Sanggam juga menyoroti lemahnya dukungan hukum terhadap peraturan adat. Ia mencontohkan Bali yang memiliki peraturan gubernur tentang batas ketinggian bangunan maksimal 15 meter, untuk menjaga harmoni dengan alam dan budaya setempat.

“Danau Toba juga butuh perlindungan hukum yang kuat. Jangan sampai pembangunan merusak lanskap budaya dan ekologi,” ucapnya.

Ia menyerukan kesadaran kolektif semua pihak agar mendorong konsep eco-friendly tourism sebagai masa depan industri pariwisata Danau Toba.

Contoh Nyata dari Pelaku Wisata Lokal

Sanggam menyebut The Parapat View Hotel sebagai role model hotel ramah lingkungan. Hotel tersebut menjaga keasrian taman dan hutan kecil di sekitarnya, sehingga tidak perlu pendingin udara di dalam kamar.

“Konsep seperti ini harus ditiru pelaku wisata lainnya. Wisata yang merusak alam itu tidak berkelanjutan,” ujarnya.

Sanggam menegaskan bahwa revalidasi UNESCO Juli nanti akan menjadi momentum penentu masa depan Danau Toba. “Kalau kita gagal sekarang, sulit untuk merebut kembali kepercayaan dunia. Jadi, jangan anggap enteng,” pungkasnya. (Ery)