BERITABUANA.CO, JAKARTA – Seorang murid kelas dua Sekolah Dasar Negeri (SDN) 012 di Desa Buluh Rampai, Kecamatan Seberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, dilaporkan meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan (bullying) oleh kakak kelasnya. Tragedi ini menyoroti kembali pentingnya pendidikan karakter dan pengawasan ketat di lingkungan sekolah dasar.
Korban KB murid kelas dua, disebut telah mengalami perundungan lebih dari satu kali. Dugaan kuat, tindakan bullying tersebut dipicu oleh perbedaan suku dan agama, sebuah masalah sensitif yang memperlihatkan adanya krisis toleransi bahkan di tingkat usia dini.
Peristiwa memilukan ini mendapat perhatian serius dari Ketua Umum Alumni SMA Jakarta Bersatu (ASJB), RA. Jeni Suryanti. Ia menyoroti lemahnya kesadaran kolektif masyarakat dalam menjalankan tanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak.
“Anak mestinya dilahirkan sebagai anugerah Tuhan, dan merupakan komitmen orang tuanya untuk membesarkan, memberi kasih sayang, serta membekali mereka dengan budi pekerti dan pengetahuan. Namun kenyataannya, masih banyak pernikahan usia dini di mana calon ibu dan ayah belum siap secara fisik maupun mental,” kata Jeni melalui keterangan tertulisnya, Minggu (1/6/2025).
Jeni juga menegaskan pentingnya pendidikan perilaku sejak dini, termasuk soal perlakuan antar teman dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ia mencontohkan, “Hanya karena seorang anak perempuan tidak berjilbab, tidak semestinya menjadi sasaran prasangka atau perlakuan tidak adil.”
Untuk itu, ia menyerukan reformasi sistem pendidikan karakter di sekolah, termasuk madrasah, agar tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk sikap saling menghargai dan perlindungan terhadap sesama.
“Indonesia menjamin keberagaman suku, agama dan kepercayaan warganegaranya. Membiarkan perilaku bullying kepada korban dengan alasan beda suku atau agama, merupakan ancaman yang serius bagi kedaulatan negara,” tegasnya lagi.
Sebagai bentuk konkret, ASJB mengusulkan pembentukan gugus tugas pengawasan anti-bullying di sekolah-sekolah, yang tidak hanya terdiri dari guru dan orang tua, tetapi juga melibatkan alumni sebagai bagian dari komite sekolah.
“Tragedi ini menjadi pengingat keras bahwa pendidikan bukan hanya soal akademik, tetapi juga soal pembentukan nilai dan moral. Tanpa pendekatan holistik terhadap tumbuh kembang anak, sekolah justru bisa menjadi tempat yang tidak aman bagi mereka yang seharusnya dilindungi,” pungkas Jeni Suryanti.
Tren Meningkatnya Kasus Perundungan di Sekolah
Kasus perundungan di lingkungan sekolah dasar bukanlah insiden tunggal. Data nasional menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan.
Menurut laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang tahun 2023 tercatat 30 kasus perundungan di satuan pendidikan, meningkat dari 21 kasus pada tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 30% terjadi di jenjang SD atau sederajat.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sekitar 3.800 kasus perundungan sepanjang 2023, dengan hampir separuhnya terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren .
Jenis perundungan yang paling sering dialami korban adalah bullying fisik (55,5%), diikuti oleh bullying verbal (29,3%), dan bullying psikologis (15,2%). Siswa SD menjadi korban bullying terbanyak (26%), diikuti siswa SMP (25%), dan siswa SMA (18,75%).
Menanggapi meningkatnya kasus perundungan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun, implementasi peraturan ini belum merata di semua sekolah.
Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, menekankan pentingnya percepatan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah-sekolah di seluruh kabupaten, kota, dan provinsi untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi siswa. ***