BERITABUANA.CO, JAKARTA — Seruan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menguat. Pengamat kebijakan publik, Malthuf, menilai bahwa persoalan internal yang terus berulang menandakan kegagalan struktural dan lemahnya kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa evaluasi terhadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah langkah strategis menuju pembenahan institusi yang lebih transparan dan akuntabel.
“Reformasi Polri bukan soal retorika, tapi soal kemauan politik dan kepemimpinan yang berani menindak tegas pelanggaran dari dalam,” ujar Malthuf saat dihubungi, Rabu (29/5/2025).
Malthuf merujuk pada dua survei nasional yang menunjukkan kontras persepsi publik. Indikator Politik Indonesia mencatat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 76,4% pada November 2023. Namun, hasil survei dari Civil Society for Police Watch pada Februari 2025 menunjukkan angka jauh lebih rendah: di bawah 50%.
“Perbedaan mencolok ini, menurut dia, mencerminkan adanya disnansi antara persepsi makro yang dibentuk media atau narasi resmi, dengan pengalaman langsung masyarakat terhadap pelayanan dan perilaku aparat,” sebutnya lagi.
Kasus-Kasus Pelanggaran: Gejala Krisis Institusional
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah anggota Polri terjerat kasus mulai dari kekerasan berlebihan, penyalahgunaan wewenang, hingga keterlibatan dalam tindak pidana. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya sistem pengawasan internal serta kultur impunitas yang membuat pelanggaran tidak mendapat sanksi tegas.
“Tanpa pengawasan yang efektif, pelanggaran akan menjadi norma baru. Ini bukan hanya soal individu, tapi kegagalan sistemik,” tambah Malthuf seraya menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kepemimpinan Kapolri sebagai bagian dari reformasi strategis. “Reformasi harus dimulai dari pucuk pimpinan. Tanpa evaluasi terhadap Kapolri, pembenahan Polri akan macet,” ujarnya.
Rekomendasi Pembaruan Polri
Untuk mendorong perubahan yang berkelanjutan, Malthuf merekomendasikan empat llangkah konkret. Pertama, penguatan pengawasan internal dan ekssternal dengan memperkuat peran Propam serta mendorong efektivitas Kompolnas sebagai pengawas independen.
Kedua, reformasi budaya institusi dengan mengubah budaya kerja menjadi lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik. Ketiga, peningkatan profesionalisme personel dengan menyelenggarakan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan integritas dan kapasitas personel Polri.
Keempat, evaluasi Kepemimpinan
Melakukan evaluasi objektif terhadap Kapolri dan jajaran pimpinan utama guna memastikan komitmen terhadap reformasi.
Bukan Sekadar Citra, Tapi Keadilan
Malthuf menegaskan bahwa reformasi Polri bukan semata demi meningkatkan citra institusi, tetapi untuk mengembalikan esensi kehadiran Polri: menjamin keadilan, keamanan, dan pelayanan publik yang profesional.
“Reformasi bukan pilihan, tapi keharusan. Dan itu dimulai dari keberanian mengevaluasi mereka yang berada di puncak komando,” tutupnya. (Ery)