Mencapai Sanatha Dharma (Pelayanan yang Sejati)

by
Agus Widjadjanto SH Praktisi Hukum. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto
(Praktisi Hukum, Penulis, Pemerhati Sosial, Budaya, dan Sejarah Bangsa)

SANATHA Dharma adalah konsep yang berasal dari agama Hindu, yang berarti “pelayanan yang nyata” atau “kewajiban suci”. Dalam konteks berbangsa dan bermasyarakat, mencapai Sanatha Dharma berarti melakukan pelayanan yang tulus dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.

Cara Mencapai Sanatha Dharma dalam Berbangsa dan Bermasyarakat:

1. Melayani dengan Tulus
Melakukan pelayanan dengan hati yang ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.

2. Berkontribusi pada Masyarakat
Berpartisipasi dalam kegiatan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.

3. Menjaga Keharmonisan
Mempertahankan keselarasan dengan menghormati perbedaan dan mempromosikan toleransi.

4. Mengembangkan Diri
Meningkatkan kapasitas diri agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar.

5. Menghormati Hak Orang Lain
Menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.

Dengan menerapkan prinsip Sanatha Dharma, kita dapat menjadi warga negara yang baik dan turut membangun kesejahteraan bersama.

Di tengah suasana Lebaran sebagai momen kemenangan umat Muslim di Indonesia, semangat Sanatha Dharma harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Mulai dari membantu handai tolan, tetangga, hingga teman sejawat, terutama di saat ekonomi sedang sulit. Data menunjukkan, mudik tahun ini turun hampir 35% dibanding tahun lalu, menandakan tekanan ekonomi yang berat.

Kondisi ini harus menjadi pemicu bagi para pengambil kebijakan untuk menciptakan stabilitas ekonomi. Perlu diingat, 85,2% pendapatan pajak berasal dari masyarakat menengah ke bawah—mereka adalah pahlawan negara yang harus diperjuangkan kesejahteraannya.

Peran Stakeholders dalam Mewujudkan Sanatha Dharma

1. Pemerintah dan Pengusaha
Para pengambil kebijakan dan konglomerat harus bekerja keras mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

2. Kaum Pendidik
Pendidik di semua jenjang harus memberikan darma bhakti, melalui pelayanan optimal, terlepas dari sistem pendidikan yang kerap berorientasi bisnis.

Ajaran Luhur sebagai Pedoman

RM Panji Sosro Kartono mengajarkan: “Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.” Artinya, pengabdian tidak diukur dari harta, tetapi dari ilmu yang ditransformasikan kepada generasi muda.

Begitu pula pesan Prof. Satjipto Rahardjo dan Prof. Darmanto Jatman: “Sejatine ora ana apa-apa, sing ana iku dudu.” Kita harus mawas diri dan terus mencari Sanatha Dharma (kebenaran sejati).

Dengan pemahaman ini, tidak boleh ada ruang untuk korupsi atau pembelokan hukum. Demokrasi juga harus diarahkan untuk kesejahteraan, bukan sekadar prosedur. Sayangnya, saat ini rakyat terjebak dalam demokrasi liberal yang justru menciptakan ketimpangan.

Kembali ke Jati Diri Bangsa

Pendiri bangsa telah merancang Demokrasi Pancasila —sistem perwakilan berbasis local wisdom— sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2 dan Sila Keempat Pancasila. Lembaga perwakilan harus benar-benar menjadi corong aspirasi rakyat.

Refleksi Reformasi

Reformasi gagal memberantas KKN dan justru terjebak dalam retorika “negara hukum”. Yang dibutuhkan sekarang adalah Sanatha Dharma: pengabdian nyata, bukan hujatan atau demonstrasi. Masyarakat menanti bukti, bukan janji. ***